Kamis, 30 April 2009

LEWAT MUSIBAH DIRI DIPUGAR



Setiap insan tak pernah lepas dari putaran peristiwa dan kejadian, entah yang mewariskan kesenangan atau membekaskan kepedihan dalam hati. Meski demikian, perlu disadari bahwa tak ada dibalik setiap kejadian dan peristiwa yang mengguncang hidup kita, kecuali untuk memperbaiki sisi-sisi kehidupan kita sendiri. Jika kita menyadari bahwa hidup ini sebuah perjalanan menuju kesempurnaan, tentu kita akan menyambut kejadian apapun yang menimpa kita dengan senyum bahagia, karena tak ada dibalik kejadian yang hadir kecuali untuk menyempurnakan mozaik kehidupan kita agar menjadi bangunan yang utuh. 

Tentu, kita tidak mau hidup dalam suasana yang begitu-begitu saja, datar-datar saja, menempuh perjalanan yang tak menanjak, juga tidak menurun, tidak ada kelokan ekstrim, dan tak ada lompatan-lompatan yang menarik. Ringkas kata keindahan hidup berbanding lurus dengan warna tantangan yang dihadapi. Yang membuat kita meresapi kepuasan manakala kita berhasil melewati ragam tantangan yang membangkitkan andrenaline dan menyalakan spirit juang. 

Jika kita bisa memahami hidup secara utuh, maka kita tidak akan mengeluh dengan terpaan musibah, juga tak terlalu senang dengan kenikmatan yang diperoleh (lihat QS. Al-Hadid: 22-23). Manakala musibah menerpa kita, maka hadirkan kesadaran dalam diri kita, bahwa musibah sebagai utusan dari Allah untuk mengelola jiwa, meneguhkan daya tahan, dan memperkuat otot-otot kita untuk menghadapi tantangan hidup yang lebih besar. Kalau kita salah dalam menyikapi musibah, justru kita akan terlindas oleh rasa putus asa, kecewa, sikap mengeluh yang berlebihan, berujung pada runtuhnya kekuatan mental kita sendiri. 

Musibah dipandang sebagai jamu yang menguatkan otot-otot, melatih diri untuk makin terampil menghadapi tantangan demi tantangan selanjutnya, dan terlebih agar kita naik kelas setiap hari. Bagaimana mungkin seorang pelajar akan naik kelas, tanpa melalui tahapan ujian di sekolah? Itu artinya, adanya ujian pertanda akan tibanya kenaikan kelas. Kalau kenaikan kelas membuat kita bahagia, harusnya musibah yang mengantarkan kita naik kelas mendapatkan respons yang mengembirkan pula. Andaikan kita sabar dan meneguhkan hati dalam menghadapi beragam musibah yang menghantam kita, maka perlahan-lahan jiwa kita makin tangguh, dan derajat diri kita pun bakal naik di hadapan Allah. 

Ingatlah saudaraku, bahwa pelaut-pelaut tangguh tidak dihasilkan dari lautan yang tenang, akan tetapi dilahirkan dari lautan bergelombang ekstrim yang mengerikan. Untuk itu, jika kita takut dengan tantangan maka kita tidak bakal bisa meraih kesuksesan yang besar pula. Kesuksesan besar berkait kelindan dengan besarnya resiko yang dihadapi. Makin besar kesuksesan yang hendak diraih, maka makin besar pula resiko yang akan menghadang. 

Kita tidak pernah luput dari musibah, dan memang musibah itu pula yang telah membentuk kedewasaan dan kematangan jiwa dalam menghadapi ragam fenomena. Orang bijak menganggap musibah sebagai bentuk upaya renovasi diri manusia dari Allah SWT. Bagaikan rumah yang direnovasi, niscaya rumah itu akan dihancurkan terlebih dahulu, tak ayal rumah itu terlihat amburadul, karut-marut, sembrawut, dan acak-acakan. Bila ada tamu yang berkunjung ke rumah Anda dan melihat rumah dalam kondisi acak-acakan, dia berujar “bagaimana rumah ini kok acak-acakan dan sembrawut begini.” Eh, jangan salah bahwa rumah ini tengah dipugar agar nantinya menjadi bangunan yang lebih indah, lebih anggun, dan lebih memesona ketimbang bangunan sebelumnya. Bersabarlah menunggu hingga tukang merampungkan pekerjaannya, niscaya kita akan melihat bangunan rumah ini begitu memesona. 

Alkisah, pengusaha mebel yang terkenal sukses, suatu saat karena kesulitan bahan baku dan pengetatan pengiriman kayu, dia pun mengalami bangkrut. Tak hanya itu, bahkan dia tertipu, hingga terbelit hutang Rp. 65 juta. Rumahnya terjual, dia pindah menempati rumah warisan orang tuanya. Makin menggetirkan, istrinya meninggalkan dia, meminta dicerai, sebagai ujung persoalan ekonomi yang membikin mereka terus terlibat pertengkaran. Karena itu, dia pun frustasi berat. Di saat frustasi itu ia melakoni berbagai hal, dari terjebak dalam perjudian, terlibat dalam jaringan paranormal yang katanya mencari barang-barang peninggalan pak Karno. 

Suatu waktu adiknya bertemu dengan saya, dan bercerita soal kejadian yang menimpanya. Saya pun meminta dia agar mengajaknya untuk bertemu saya. Bersamaan dengan hidayah dari Allah SWT, di tengah kelelahan dalam melakukan eksprimen untuk mengembalikan kemakmuran yang pernah diraihnya, saya menyarankan dia agar melaksanakan shalat, sembari memberikan kunci untuk membuka pintu rezeki. Dia pun menjalankan nasihat itu. 

6 bulan berikutnya muncul keajaiban, rumah warisan ibunya yang dihuninya dianggap paling tepat untuk ditempati tower sebuah telepon seluler. Pendek cerita, terjadilah kesepakatan kontrak sewa dengan pihak telepon seluler selama 10 tahun. Ia bisa memeroleh Rp. 100 juta dari kontrak sewa tersebut . Dia hampir tidak percaya dengan kejadian tersebut. 

Dia berkata pada saya “saya tidak hanya bisa memperbaiki kehidupan saya, akan tetapi bisa meresapi soal iman”. Berkat itu dia bisa membayar hutangnya yang sebesar Rp. 65 juta, membantu adiknya, dan bahkan bisa mengundang tetangga untuk syukuran. Pun beberapa bulan kemudian, istri yang sudah meninggalkannya kembali lagi ke dalam rengkuhannya.

 Dari peristiwa tersebut kita bisa memeroleh pelajaran, betapa sesungguhnya musibah itu bagaikan upaya memperbaiki bangunan. Memang tak ada bangunan dihancurkan kecuali di situ akan berdiri bangunan yang lebih megah dari sebelumnya. Tak ada pasar yang terbakar, kecuali kelak akan bergantikan pasar yang lebih mewah. Karena itu, kendati seluruh cabang kehidupan duniawi kita rontok, tak seharusnya orang beriman putus asa dari rahmat Allah, bukankah saat musim gugur datang sebagai pertanda bahwa musim semi bakal tiba. Bagi orang orang beriman musibah akan menjadi petunjuk, petunjuk menggapai kesuksesan yang sejati. Mari kita pungkasi bahasan ini dengan firman Allah: 

“Tidak ada suatu musibah pun menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Tagabun [64]:11).

KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar