Jumat, 03 April 2009

MEMUNGUT SEBAGIAN DARI YANG TERSERAK



Saya begitu bahagia bisa menyertai guru kami yang mulia, KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi, dalam silaturrahim antar ulama’ di Pesantren Langitan pada hari Kamis, 2 April 2009. Awal mulanya saya mempersepsi Pesantren Langitan sebagai ikon partai politik tentu sarat ingar-bingar politik yang membuat hati panas, tak berpeluang menyatukan kedamaian. Akan tetapi kenyataannya dalam silaturrahim ini tak secuil pun ada perbincangan yang menyinggung persoalan politik praktis. Tak ada kampanye yang saya dengar. Tak ada money politics yang saya saksikan. Tak ada tokoh yang mengajukan diri untuk didukung dan dipilih. Tak ada stiker partai politik yang kudapatkan. Ringkasnya, tak ada kepentingan sempit yang menodai pertemuan tersebut.

Saya merasa pertemuan ini sepi dari ingar-ingar isu partai politik. Meski demikian kepekaan ulama’ terhadap persolaan politik yang tengah berlangsung di Indonesia, dalam ajang pemilu 2009, terasa begitu tajam. Mereka paham betul tentang akrobat politik yang dipertunjukkan oleh para elite saat ini. Mereka (yang mulia) tidak hanya mengerti pertunjukan itu, akan tetapi juga mengerti motivasi dibalik pertunjukan tersebut (baca: the political show). Ulama mengerti politik, tetapi tidak masuk ke ladang politik praktis apalagi pragmatis yang hanya akan melepaskan jubah keulamaan yang amat terhormat. Meminjam istilah KH. Mahfudz Syaubari yang juga turut hadir saat itu, ulama’ perlu menata siyasay (politik) bukan riasah (kepemimpinan). Mengedepankan pada sistem politik ketimbang perebutan jabatan politik. Tanpa mengerti ini, maka ulama niscaya hanya menjadi pemain, bukan kelompok yang membuat sistem permainan. Kalau ulama’ sudah terjebak sebagai pemain, niscaya sulit untuk menjadi pemandu umat yang handal. Berlandaskan pada pemahaman itu, ulama’ tetap memilih untuk memperjuangkan kewibawaan ulama’ agar bisa berkontribusi pada umat secara luas. Dari sinilah ulama’ terus berusaha membangun umat yang tercerahkan dan tak gampang dibodohi.

Dengan mengikuti pertemuan ‘ulama saya sedikit mengerti persoalan yang mengungkung umat saat ini dan perihal yang menghujamkan kedukaan di kalangan ulama’. Seusai pertemuan itu, kami memenuhi undangan walimatul ‘arsy putri dari KH. Abdullah Munif. Sungguh sebuah kehormatan tersendiri, saya bisa bertemu dengan tokoh-tokoh ‘Ulama yang insya Allah memiliki kedekatan dengan Allah SWT. Di sana hadir KH. Abdullah Faqih, KH. Shaleh Qosim, KH. Jazuli, KH. Ali Marzuki, KH. Ihya’ Ulumuddin, KH. Aziz Mansyur, dan masih banyak ulama kharismatik lain yang menyempatkan hadir dalam perhelatan tersebut. Ketika bertemu dengan ‘ulama, kami tidak hanya terpesona pada ilmunya yang demikian luas, namun juga pada sikap akhlak mereka yang begitu tinggi. Senyum kebahagiaan yang memancar di wajah mereka. Sikap ketawadhu’an yang menghiasi mereka. Kepekaannya yang amat dalam. Memang ulama selalu mengedepankan akhlak dalam setiap aktivitas dakwahnya. Dan bukankah akhlak inilah yang ampuh untuk menarik minat umat pada Islam?

Saya jadi teringat pada penuturan guru kami yang mulia, bahwa pada diri manusia ada tiga wilayah, yaitu wilayah ilmu, wilayah amal, dan wilayah hal. Wilayah ilmu bisa dipelajari lewat kitab, buku, atau internet yang berlimpah dengan informasi dan wawasan terbaru. Wilayah amal, begitu banyak figur yang mengaktualisasikan tindakan-tindakan bajik yang membuat hati terpesona, sehingga orang bisa meniru. Tetapi ada wilayah yang bukan ilmu juga bukan amal, yaitu wilayah hal. Wilayah ini berkait dengan amal qalbi, amal tak berbentuk yang hanya bisa diasah dengan kepekaan rasa. Saya merasa bahwa keindahan dan kenyamanan hidup itu akan dicapai ketika bergaul dengan ulama’. Bila kita bergesekan atau bergaul secara istiqamah dengan ulama’, niscaya kita bakal ketularan gema kedamaian yang bermukim di hati mereka. Selaras dengan hikmah yang kerap diungkapkan oleh guru kami yang mulia, “hanya orang yang punya air yang bisa memberikan air, hanya orang yang punya uang yang bisa memberikan uang, dan hanya orang yang bahagia yang bisa memberikan kebahagiaan.” Ketika hati kita masih sering gamang dan rapuh bergabung dengan hati yang tenang dan kokoh, niscaya kita pun bakal ikut tenang dan kokoh.

Banyak pelajaran bermutu yang didapatkan dari (perjalanan) silaturrahim ini. Meski demikian, saya tidak bisa mengungkapkan semua pelajaran itu lewat tulisan yang amat terbatas ini. Saya merasakan keindahan bersama ulama’ karena pergerakan mereka tidak dilandasi oleh kepentingan duniawi sedikit pun. Setiap derap langkah mereka hanya untuk menegakkan kembali agama Allah yang tengah kusut-masai. Dari pertemuan tersebut, saya memeroleh pencerahan bahwa peran ‘ulama tidak hanya bisa menyelesaikan masalah umat lewat kata-kata, akan tetapi perlu diikuti dengan tindakan konkret yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Andaikan kita bertemu dengan orang yang lapar, maka kata (ceramah) agar bersabar tidak ampuh untuk mengurai masalah mereka. Akan tetapi harus diikuti dengan sumbangan makanan sesuai kemampuan maksimal, agar rasa lapar bisa teratasi. Dari sini ulama’ tidak hanya menjadi orang bisa berfatwa tetapi juga bisa menghadirkan model yang indah bagi masyarakat. Bukankah tindakan lebih berarti ketimbang kata-kata?

KH. Mas Yusuf Muhajir yang ikut serta mengikuti pertemuan tersebut mengutarakan, bahwa ulama’ tidak berhenti dalam tataran visi dan misi, tetapi perlu ditindaklanjuti dalam bentuk aksi yang konkret. “Visi dan misi itu sukun, dan tindakan adalah harkat.” Sukun berarti diam, tidak ada gerakan apapun, sementara harkat adalah bergerak. “harkat fathah artinya terbuka, berarti terbukanya langkah untuk memajukan Islam, harkat kastrah, walau berbeda kita tidak terpecah belah, alias tetap menyatu, dan terkahir adalah rafa’ yang berarti terangkat. Bukankah yang terangkat itu berarti mulia,” lebih lanjut KH. Mas Yusuf mengungkapkan saat perjalanan pulang.

Sejalan dengan pernyataan beberapa Ulama’ KH. Abdullah Faqih menasihati agar ulama tidak sebatas alim (paham soal pengetahuan agama secara mendalam), tetapi juga aqil (cerdas dalam menjalankan strategi dakwah) agar tak gampang tertipu. Kata-kata ini sederhana namun amat tajam dan mengena untuk dijadikan bahan evaluasi agar Islam tidak hanya ada dalam tataran konsep, akan tetapi bisa menjadi model hidup yang utuh, berikut akan menjelma sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar