Selasa, 31 Maret 2009

BELAJAR SUFI PADA BOB SADINO

Dua pekan yang lalu saya berkunjung ke toko Buku Gramedia. Biasanya, setiap kali saya tiba di toko buku, perhatian pertama menjurus pada rak buku berdaras agama, terlebih yang berkaitan dengan wacana sufistik. Di rak buku agama, tidak ditemukan buku baru yang bisa memikat diri untuk membacanya. Beberapa menit saya mengitari rak buku agama, tetap saja tidak ditemukan buku yang menggugah untuk dilahap. Berselang beberapa menit, saya berkeliling ke rak buku yang lain. Setelah membaca buku agama, pandangan saya langsung tertuju pada buku-buku yang berdaras bisnis. Saya biasa melahap buku bisnis juga untuk mencerap pencerahan mengenai bisnis, setidaknya mendapatkan panduan yang mantap dari master bisnis yang teruji.

Di gerai buku-buku baru, tampak buku yang bersampul keren dengan pose Bob Sadino tengah mendorong gerobak. Buku ini membedah perjalanan Bob Sadino, dikemas dengan bahasa yang apik oleh editor kenamaan, Edy Zaques (EZ). Buku itu mengungkapkan petualang Bob Sadino di debut bisnis yang demikian menantang. Bagaimana dia memulai bisnis dari sebutir telur yang membiak menjadi kerajaan bisnis mengagumkan ? Pun terkuak rahasia-rahasia kegetiran yang dialami dalam membangun kerajaan bisnisnya. Buku ini tak terlalu kenyal dengan nuansa sufi, karena editornya sebatas meramu pengalaman bisnis yang kiranya bisa menginspirasi spirit entrepreneurship bagi kalangan muda. Kebetulan EZ juga seorang entrepreneur yang bergerak di bidang kepenulisan. Saya mengenal tulisan EZ di pembelajar.com. Tulisannya banyak menginspirasi pembacanya agar bergairah menulis. Saya juga ikut terinspirasi olehnya.

Belum usai membaca buku ihwal Bob Sadino yang diracik begitu lezat oleh EZ, mata saya tertuju pada sebuah buku yang juga menguak rahasia bisnis Bob Sadino. Di buku inilah terasa kental dengan nuansa sufi. Bob Sadino berani bersebrangan dengan kelaziman yang dikemukakan beberapa ahli manajemen dalam mengembangkan bisnisnya. Ada kalimat magis yang disematkan sebagai kata kunci di sampul buku tersebut, yaitu tanpa rencana, tanpa tujuan, dan tanpa harapan. Dia mengisyaratkan, rencana dalam berbisnis tidak penting, sebagai tanda ketundukan pada rencana Allah. Dan Allah adalah “masterplanner,” perencana terbaik. Dan setiap apa yang direalisasikan pasti sebuah kebaikan. Sebenarnya konsep tanpa konsep yang diajukan Bob Sadino hendak memudarkan pakem lama yang berkarat di otak manusia modern yang berkeyakinan bahwa tanpa rencana, bisnis tidak bisa menggapai kesuksesan. Bagi Bob Sadino, paling penting dalam berbisnis adalah melangkah. Langkah pertama akan menghasilkan ide kreatif setelah menyapa dan menyelami keadaan.

Dari kearifan itu, Bob Sadino bisa ditempatkan pada jajaran pebisnis sufi. Bukankah tanpa rencana kalimat yang akrab di kalangan sufi? Sufi tidak membuat rencana karena telah menyandarkan hidupnya pada rencana Allah. Percaya mantap pada Allah. Meyakini bahwa Allah lebih tahu akan apa yang terjadi, pun meyakini bahwa Allah amat mengasihi hamba-hambaNya melampaui kasih seorang ibu pada anaknya. Rencana Allah maha hebat ketimbang rencana manusia, dan setiap rencana Allah pasti terjadi. Sementara rencana manusia belum tentu terjadi. Mengapa demikian? Karena rencana Allah dibalut dengan kuasaNya yang tak terbatas, sementara rencana manusia begitu lemah karena kekuasaannya yang amat terbatas.

Saya hendak memaparkan lebih lanjut mengenai pelajaran yang terbabar dari buku yang mengupas mengenai terobosan Bob Sadino berikut keyakinan yang melandasi setiap langkah-langkah bisnisnya.

Pertama, tanpa rencana, tanpa tujuan, dan tanpa harapan. Kalimat magis tapi mengherankan itu mungkin akan membuat para pengamat ekonomi mengerutkan kening, pelik memikirkannya. Andaikan ada orang yang tersuntik virusnya Bob Sadino, maka dia harus berpikir untuk tidak menggunakan pikiran. Bagi Bob Sadino, ketika membuka bisnis dimulai dengan memikirkan konsepnya, niscaya bakal menimbulkan rasa gamang dan ragu. Dan keraguan membuat orang tidak bertindak. Padahal, langkah pertama yang perlu dilakukan dalam berbisnis adalah “melangkah.” Langkah pertama akan melahirkan langkah berikutnya. Langkah yang berkali-kali (repetitive step) bakal bisa memperbaiki strategi dan cara yang digalakkan dalam berbisnis. Pemikiran Bob Sadino yang nyentrik tapi topcer itu membuat orang begitu yakin, karena semua pemikiran dan kearifan bisnisnya bermuara dari pengalaman bisnis yang ditekuni. Di tataran ini, fomula Tung Desem Waringan, James Gwee, Tommy Siawira, dan bahkan konsep Abdullah Gymnastiar sudah tak laku lagi. Para ahli manajemen setiap hari membuat rencana bisnis yang indah-indah, sementara Bob Sadino membuat rencana untuk tidak berencana, tanpa tujuan, dan tanpa harapan. Begitulah, manusia akan makin lemah dan terkungkung oleh batasan-batasan yang dibuatnya sendiri lantaran telah menggantungkan dirinya pada rencana, tujuan, dan harapan yang dibuatnya sendiri. Bukankah hanya orang yang berencana dan berharap yang mudah dikena kecewa?

Kedua, rugi menjadi pilihan sebagaimana beruntung menjadi pilihan. Aneh kan? Bagi orang yang sudah memasuki tataran kearifan, rugi dan untung tak ada bedanya, alias sama saja. Karena sejatinya rugi dan untung akan memberikan pelajaran yang luar biasa bagi orang merenungi dibalik kerugian dan keberuntungan tersebut. Ia mengumpamakan gelas, selain bisa penuh, setengah isi, atau kosong. Kalau gelas boleh kosong, mengapa bisnis juga tidak boleh rugi? Bahkan ia ingin sekali rugi. Bukankah gelas yang kosong pertanda akan mendapatkan isi yang penuh. Sosok ini sudah tidak lagi memikirkan uang, bisnis melampaui uang, atau melampaui untung dan rugi. Dia berfokus agar bisa memungut mutiara kearifan dari setiap perjalanan bisnis yang dijalani. Dialah suhu entrepreneur yang bisa dijadikan model dan pembimbing dalam berbisnis. Modal utama bagi Bob Sadino dalam melangkah adalah keyakinan. Memang keyakinan sebuah kekuatan nyata dalam melahirkan tindakan-tindakan yang bernas, cerdas, dan inspiratif. Dia tak lagi membedakan untung dan rugi lantaran dia sendiri menganggap untung dan rugi sebuah pasangan yang amat serasi. Untuk mendapatkan untung yang besar, maka orang harus mengalami “kerugian” atau resiko yang besar pula. Tak ada keuntungan besar dalam resiko yang kecil.

Ketiga, belajar berbisnis harus “goblok.” Kalau mau belajar, maka seorang murid harus merasa goblok. Dalam artian, ketika belajar seorang murid harus membasuh konsep-konsep bisnis yang masih melekat di pikirannya. Meminjam kalimat Billi S. Lim, motivator dari Malaysia, learn to unlearn, belajar untuk tidak belajar. Artinya menghapus seluruh data lama yang sudah usang, atau kosongkan seluruh data, agar bisa dikucuri data baru yang membuat si murid makin lincah dalam bertindak dan membuat terobosan. Tidakkah konsep ini selaras dengan apa yang dipahami oleh darwis di kelompok sufi? Untuk mendapatkan ilmu ladunni, maka murid harus membasuh seluruh konsep dan dan kerangka pemikirannya sendiri, ujung-ujung meleburkan keakuan di hadapan guru. Sepintar apapun seorang murid, harus merasa goblok di hadapan seorang guru. Merasa kosong di hadapan yang telah berisi. Di saat kosong itulah, niscaya murid akan mendapatkan pencerahan yang melapangkan dadanya. Atau bersamaan dengan hancurnya tembok keakuan, maka pengetahuan murid bakal menyatu dengan pengetahuan guru yang amat luas.

Semoga kita mendapatkan pelajaran yang amat penting dari perjalanan bisnis Bob Sadino. Dengan membacanya, kita akan terpengaruh untuk ikut memasuki dunia esensi yang telah dihuni oleh Bob Sadino.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya




1 komentar: