Kamis, 05 Maret 2009

SHOLAWAT, MEMANGGIL SANG CAHAYA

Bersholawatlah pada Rasulullah Saw. Demikianlah seruan yang sering mengalir dari lisan orang sholeh, ungkapan syukur pada Rasulullah dalam bentuk jingle“Allahumma sholli ‘ala Muhammad”. Kata-kata ini sudah sering saya dengar saat masih tinggal desa. Warga melulu menjadikan Nabi sebagai contoh teladan yang tetap menghunjam di hati. Bila mereka berkumpul, biasa melantunkan kata-kata thayyibah, seperti dzikir bersama, juga disudahi dengan sholawat pada Rasulullah Saw. Sudah menjadi tradisi, bila orang pada membubarkan diri dari majelis, maka pemimpin majelis menyerukan dengan lantang kalimat “Allahumma sholli ‘ala Muhammad”, dan disambut dengan deru suara“Allahumma shalli ‘alaih”. Tidak hanya ketika berkumpul di majelis dzikir, saat warga gotong royong merenovasi rumah, menanam atau memanen hasil tanam di sawah, dan bahkan ketika mau berpisah di jalan, orang sering mengkhiri dengan sholawat pada kanjeng Nabi. Sungguh ‘virus’ cinta Rasul benar-benar menular ke hati orang-orang di desa. Cinta Rasul menebar dari majelis dakwah, di trotoar, di sawah, dan bahkan di pasar. Betapa indahnya hidup ini, ketika setiap hari diperdengarkan salam cinta pada Rasulullah Saw.

Semasih saya berada di desa, terasa tidak ada yang istimewa dari kebiasaan mengakhiri pertemuan dengan jingle ‘allahumma sholli ‘ala muhammad’, saat saya sudah di kota, jarang kudapatkan teriakan indah sholawat itu. Ketika sudah lama tidak bertemu dengan orang-orang desa, terasa ada sesuatu makna yang hilang. Demikian juga yang dialami saya, ketika suasana sholawat ala orang desa tidak lagi didengar, saya jadi tertarik untuk mencari rahasia terdalam dari gema sholawat itu. Ketika saya mendengarkan vibrasi sholawat, seolah ada suasana tenang hadir ke dalam hati, betapa sholawat bagaikan suntikan yang mengalirkan kedamaian ke sumsum ruhani. Sama halnya, ketika kita mengingat Allah sepenuh hati, maka relung-relung jiwa seperti mendapatkan air surgawi yang hangat nan sejuk. Mengapa? Karena Allah adalah mata air kebaikan, dari mana seluruh kebaikan itu muncul. Allah mewujudkan seluruh kosmos ini dengan sentuhan kasih sayang dan sejuta kebaikan. Ketika kita menyebut-Nya, maka tentu sifat-sifat kebaikan itu pun berpendar dalam hati kita seperti cahaya. Bayangkan, kalau kita mengucapkan citra kebaikan, maka angin kesegaran dan hawa sejuk seperti menyelusup ke dalam hati kita. Rasulullah Saw adalah pribadi yang berakhlak dengan akhlak Allah. Beliau telah diutus menjadi wakil Allah dimuka bumi, dan setiap yang mewakili tentu sesifat akhlaknya dengan yang diwakili. Akhlak baik yang melekat pada Allah menjelma dalam kepribadian Rasulullah Saw.

Rasulullah memiliki merk pribadi elok, seluruh sifat baik bertumpu pada pribadi yang menyejarah ini. Beliau menjelmakan citra ilahiyah secara sempurna. Ya, itulah alasannya, mengapa ketika mengingat beliau seperti ditetesi embun pagi yang menyusupkan rasa dingin yang sejuk. Ketika Anda mendengarkan atau mengingat sosok yang pernah berbuat baik berbalutkan karakter elok menawan hati, maka hati Anda akan bergetar dan terasa ada keindahan menyeka batin Anda. Mengapa? Sifat-sifat kebaikan itu akan menyuburkan suasana kedamaian dalam hati, orang yang telah mendapatkan label baik akan meluberkan kedamaian dan keindahan ke dalam hati setiap orang. Rata-rata orang terpesona dengan karakter baik yang melekat pada seseorang. Orang menjadi terkenal di hati kita, karena kejernihan karakternya yang membuat diri kagum.

Pribadi terdekat yang bisa diangkat sebagai contoh adalah guru saya sendiri. Saya amat mencintai guru spiritual yang turut mendidik saya menuju tangga pengalaman spiritual. Saya menemukan sifat sederhana, supel, ilmiah, menebar spirit cinta pada Allah, Rasul, dan kehidupan, dan hatinya dipenuhi kelapangan untuk berbagi dengan fakir miskin. Kumpulan sifat itu membikin diri tertawan. Manakala mengingat beliau, hati saya langsung tertuju pada sifat-sifat kemuliaan yang melekat padanya. Beliaulah guru yang menuntun saya dengan keteladanan yang menjernihkan pikiran, hati, dan jiwa secara holistik. Ustadz Dhiyauddin Qushwandhi telah membawa saya ke jalan spiritual setapak demi setapak dengan spirit keteladanan yang tak pernah pudar. Bagi saya, pribadi ini layaknya berlian yang belum ditemukan banyak orang. Andaikan orang yang menemukan, maka kebaikan dan kemuliaan yang melekat pada dirinya akan menularkan perubahan yang efektif . Tetapi perlu diingat, rasa kagum, kasih, cinta, kemudian berbuahkan kedamaian dan kesejahteraan batin amat bersifat personal. Cinta membuahkan kedamaian, bukan cinta yang harus dipublikasikan kemana-mana, apalagi cinta itu dipasarkan ke banyak orang. Cinta itu amatlah intim. Saking intimnya spirit cinta itu sehingga tidak bisa diraba oleh orang lain.

Jika saya amat terkesima dengan guru spiritual yang sabar menuntun saya menuju puncak spiritual, betapa kita tidak kagum dan menaruh cinta yang amat mendalam pada mahaguru yang telah menggelar cahaya keindahan di dunia dengan karunia Islam. Dialah Rasulullah Saw, pribadi yang begitu sabar menuntun umatnya dalam cahaya Iman, Islam, dan Ihsan yang dipaket dalam aqidah, syariat, dan akhlak dan turut mengangkat kemuliaan umat manusia diatas segalanya, bahkan mengangkat umat Islam sebagai manusia paling unggul (human excellant) daripada umat yang lain. Cinta sebagai pengejawantahan rasa syukur, rasa syukur pada Rasulullah, cahaya yang diturunkan oleh Allah Swt untuk menunjuki jalan kebenaran melalui kompas al-Qur’an dan peta as-Sunnah.

Rasulullah Saw adalah cahaya yang menjadi embrio pengejawantahan jagat semesta. Andaikan beliau tidak diciptakan, dalam bentuk cahaya muhammadiyah, maka balantara kehidupan ini tidak akan dirasakan kita. Kalau kita kini sedang berada dalam lorong gelap yang penuh pekat, maka sudah saatnya kita memanggil-manggil kembali pusat cahaya dunia, Rasulullah Saw. Dengan mengingat dan memanggil beliau melalui daya spiritual yang kukuh, maka cahaya akan menyala di lorong kehidupan kita. Masuknya secercah cahaya pertanda menyusupnya sifat-sifat kebaikan ke dalam hati kita. Andaikan kita melulu mengingat dan memanggil Nabi ke dalam hati ini, maka perlahan-lahan mahadaya spiritual beliau akan memenuhi hati kita. Mendekati dan memungut cahaya berlian dari tangan beliau yang selalu terbuka perlu dijalankan dengan memanggil beliau dengan spirit cinta. Tanpa cinta tak bersyarat, maka mahadaya Nabi tidak akan pernah meresap ke dalam hati kita. Ketika kita mendekati Nabi dengan sebingkah cinta, maka beliau akan mendekati kita dengan 10 bingkah cinta. Andaikan, kita bisa membebaskan cinta kita pada beliau melampaui seluruh jagat semesta ini, sungguh cinta Rasulullah tidak akan pernah terhitung, dan karunia nur muhammaddiyah pun akan meresap dalam kesadaran kita secara utuh.

Sirnakan kegelapan dengan memanggil master dari cahaya kehidupan, Rasulullah Saw. Sadari bahwa kita hanyalah kegelapan, tanpa rahmat Allah dengan menurunkan energi cahaya yang abadi, maka kita akan terus berada dalam kegelapan. Tanda kegelapan kita, adalah tidak adanya setitik kesadaran tentang kehidupan. Hidup sejati bagi kita bukan hidup jasmani, tetapi kehidupan ruhani yang berjalan di tengah-tengah cahaya dengan kesadaran yang melulu terjaga. Tanpa cahaya tidak ada kehidupan, hanya karena ada cahaya kehidupan ini bisa dirasakan dengan seluruh keanggunan dan keelokan yang melekat. Sementara titik pusat cahaya itu adalah beliau Saw, berarti tanpa kehadiran beliau, maka jagat dunia dengan segala kemegahannya ini tidak akan terlahir. Andaikan Anda menonton bioskop, Anda bisa melihat benda-benda indah, wanita cantik, artis tampan dan macho, mobil gress, dan beragam pernak-pernik lain yang membuat hati anda terkagum-kagum bukan karena mata Anda yang bisa melihat itu. Tetapi karena adanya cahaya yang menunjuki segenap sosok itu. Andaikan tak ada cahaya, mata pun tidak bisa menangkap pernak-pernik yang mengagumkan itu. Banyak orang terpesona dengan materi-materi itu, sehingga melupakan cahaya yang mengantarkan adanya materi yang mengagumkan tersebut. Sayang, di akhir zaman Rasulullah Saw hanya ditempatkan sebagai pribadi yang mengantarkan ajaran-ajaran Islam, bukan cahaya itu sendiri. Tak ayal, banyak orang belajar tentang ajaran Islam, tetapi kinerja islami tidak lekat dalam kepribadiannya. Mengapa? Karena orang hanya mengingat ajarannya saja, tetapi tidak memasukkan kecintaan pada Rasulullah Saw sebagai jalan indah untuk memetik kehidupan penuh cahaya.

Dendangkan terus-menerus kidung-kidung cinta rasul di masjid, langgar, rumah, bahkan di tempat kerja, sehingga kerinduan pada Rasulullah Saw benar-benar terpantik. Saat kerinduan pada beliau memuncak, maka ketenteraman dan ketenangan hidup akan menjelma dalam kehidupan kita.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan cahaya

2 komentar:

  1. Kalau perintahNya "sholu ILA nabi", itu benar diterjemahkan "bersholawatlah KEPADA Nabi". Tetapi perintahNya kan "Sholu 'ALA nabi", itu mestinya diterjemahkan "bersholawatlah ATAS Nabi".

    Lalu kalau judulnya : "Sholawat, memanggil sang cahaya", ini kan "da'atun-nuur".
    Sebenarnya sholawat itu apa?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus