Kamis, 19 Maret 2009

CAHAYA MATA

Mendengar cahaya mata, pikiran saya langsung tertuju pada instrument hingga dengan izin Allah saya bisa melihat. Ada bashar, melihat suatu yang nampak oleh mata lahiriah. Juga ada bashirah, yakni melihat dengan mata hati. Andaikan kita tidak memiliki cahaya mata, niscaya kita tidak bisa melihat apa yang ada di depan kita, walau keadaannya terang benderang. Beberapa hari ini, saya merenungi apa arti cahaya mata, dalam kasidah Maulid Rasulullah SAW yang disitir “Nurul ‘Aini.” Disitu Rasulullah SAW disebut-sebut sebagai Cahaya Mata, yang berarti hanya dengan cahaya mata itulah kita bisa melihat. Tanpa cahaya mata itu kita akan gagal membedakan yang baik dan yang benar. Bukankah suasana hati seorang bergantung responsnya saat itu? Bukankah setiap efek berawal dari cara pandang orang tersebut? Sepahit apapun sebuah masalah pabila dipandang dengan kacamata yang jernih dan bening, insya Allah masalah itu bakal menyembulkan bunga keindahan dan kebahagiaan yang kekal dalam hati. Sebaliknya, seindah apapun suatu horizon yang melingkupi kita, tetapi dilihat dengan kacamata pikiran yang kotor, justru keadaan itu hanya mengantarkan kita dalam derita yang terus bergolak dari dalam hati. Gamblangnya, dengan mata yang bening kita bakal bisa melihat kebaikan dalam setiap kejadian yang tergelar di hadapan kita, dan dengan mata yang kotor tak bercahaya, kita hanya melihat kotoran.

Kata Jalaluddin Rumi, “keburukan itu tidak melekat pada orang lain, tetapi melekat pada pikiran kita.” Keburukan itu bermukim di pikiran kita sendiri, adapun suatu yang ada di luar kita, adalah kebaikan yang sempurna. Ketika orang bisa melihat sebuah kebenaran, berarti pikirannya dihias oleh kebenaran. Ketika pikiran menjadi negatif, maka segala sesuatu yang terhampar di sekelilingnya terkesan negatif dan melahirkan kebencian. Suatu kali, saya berburuk sangka pada pemakalah di sebuah seminar, maka setiap untaian kata yang dituturkan seakan menjelmakan keburukan di pikiran saya, dan membuat hati makin panas dan muak. Dan di kesempatan yang lain, saya menyetel pikiran dengan hal-hal positif, maka justru saya menemukan sisi kebaikan dari pemakalah tersebut. Dari situ saya menyimpulkan bahwa kebaikan dan keburukan itu bermukim dalam pikiran saya sendiri.

Apa kaitannya antara pikiran dan cahaya mata? Cahaya mata adalah sisi yang bisa melihat suatu yang ada di hadapan kita dengan cara yang netral. Ketika mata kita buta dan tak bercahaya, justru kita tidak bisa menatap keadaan yang ada di luar kita. Tetapi ketika mata bercahaya, maka kita bisa menatap dengan seksama apa yang terhampar di depan kita. Karena itu, ketika menggunakan cahaya mata yang bening, maka kita bakal menemukan kumpulan keindahan yang berserakan di sekeliling kita. Artinya, pabila kita mampu menangkap segala keadaan dan sesuatu lewat cahaya muhammaddiyah, maka kita bakal menemukan aneka kearifan yang tergelar begitu sempurna dan indahnya. Dan kita bakal merasakan bahwa setiap peristiwa dan kejadian yang menjelma dalam kehidupan kita, bukanlah suatu yang acak tanpa rencana yang terpola. Tidak ada suatu yang kebetulan. Karena meyakini tak ada suatu yang kebetulan, maka setiap peristiwa dan kejadian yang menyeruak pasti membekaskan hikmah yang mendalam dan menyentuh.

Rasulullah SAW bukanlah cahaya mata lahiriah, tetapi lebih sebagai cahaya mata batin. Ketika kita bisa menatap, memandang, dan meneliti segala keadaan dan kejadian yang menjelma dengan cahaya mata batin itu, maka kita bakal mengakhiri respons hidup dengan bersyukur dalam setiap keadaan. Tak ayal, jika orang telah meresapi semangat Nabi SAW di dalam hatinya, niscaya bakal merasakan luapan kebahagiaan yang tak terhingga. Musibah yang menggelisahkan dan ujian yang menyakitkan menjadi tertindih kebahagiaan lantaran rasa syukurnya yang begitu meluap-luap dijadikan umat Nabi SAW. Ada seorang kyai bertutur, “Kita sungguh amat bersyukur menjadi umat Nabi SAW, karena beliau SAW menjadi garansi bagi umatnya. Karena itu, saya tidak pernah bisa menangis, hanya terus tersenyum dalam syukur yang tak pernah jeda karena saya telah ditakdirkan sebagai umat Nabi Muhammad SAW.” Manakala kita melihat dengan cahaya mata Nabi SAW, maka hati kita bakal dihiasi oleh kebahagiaan yang tak terhingga. Manakala orang bisa melihat segala sesuatu dengan cahaya mata (cahaya muhammaddiyah), maka justru dia bakal merasakan ada kesejukan batin yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Dengan cahaya mata itu kita melihat kebenaran universal, setala dengan sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang melihat saya, sungguh melhat kebenaran.” Ketika kita bisa melihat dan menatap setiap keadaan dengan cahaya Muhammaddiyah, niscaya kita bakal merasakan surprisingly terus-menerus, ternyata setiap keadaan itu melahirkan hikmah yang menyejukkan hati kita. Artinya ketika bisa melihat dengan Cahaya Mata (Nurul “Aini) itu, niscaya hati kita bakal diliputi dengan kesejukan mata (Qurratul ‘Aini). Semoga kita bisa mencapai mata hati yang sejuk dengan selalu bisa menatap keadaan dengan sang Cahaya Mata, Rasulullah SAW. Wallahu A’lam Bis Showaab.

2 komentar:

  1. Yang dimaksud dengan "membedakan yang baik dan yang benar" itu apa?. Apa hanya salah tulis saja?

    Kalimat-kalimatnya agak berlebihan nih.

    Tulisan ini bukan dari jalan cahaya kah?

    BalasHapus
  2. ya mohon maaf itu salah kata-katanya pak.
    Tulisan ini dari jalan cahaya. terima kasih atas ketelitian dan kecermatannya pak eko.

    BalasHapus