Jumat, 16 Maret 2012

BELAJAR DIAM PADA BUNGA

Pada pagi berbalutkan kecerahan, diwarnai cahaya mentari yang memancar dari ufuk timur, kutemukan lahan “farsyi” melalui bunga yang melulu menampakkan senyum di hadapanku। Dalam diamnya, bunga itu telah mematrikan kebahagiaan di batin ini. Lisanku diam, pikiranku hening, dan hatiku pun fokus menyapa bunga dengan segenap keindahannya.

Dari situ, hamba yang amat hina ini berusaha menyerap pelajaran pada kemuliaan yang telah Allah sematkan pada bunga. Ia memang diam, tetapi diamnya sebagai manifestasi puncak kefasihan berbicara, tak ayal diamnya menarik pesona setiap orang yang menatapnya.

Wahai bunga, kau seakan telah merangkum seluruh keindahan universal, karenanya kau telah memesona seluruh semesta. Manusia dari berbagai sekte, agama, dan etnis tak ada sedikit pun yang menaruh kebencian padamu, semuanya menyukaimu. Tak ayal, kau kadang dijadikan sebagai bentuk ekspresi syukur oleh seluruh manusia. Kau kadang dijadikan wahana mengekspresikan cinta seorang pada kekasihnya, kau akan menjadi hiasan pagi pengantin yang bersendawa di pelaminan, kau juga dihaturkan sebagai ekspresi selamat atas pencapaian sebuah gelar pada seseorang, kau juga ditaburkan di tempat pemakaman sebagai ekspresi kasih yang tak pernah lekang oleh kematian. Kau boleh layu, tetapi keindahanmu telah dijejakkan di hati setiap orang, sehingga siapa yang mengingatmu hanya mengingat keindahanmu saja. Kau boleh mati, meninggalkan kehidupanmu tetapi harummu tak pernah pudar di “penciuman batin” semesta.

Saya menemukan keindahanmu, saat saya dan kau sama-sama diam, mematung dalam zona meditatif, seakan berbisik banyak kearifan dari lubuk batin ini. Bunga, kau tak meninggalkan jejak keburukan sedikit pun di hati orang lain, tetapi hamba yang hina dan bertumpuk dosa ini, sering meninggalkan jejak keburukan di hati orang lain. Bukankah kemuliaan makhluk di sisi Tuhan-nya bergantung pada atsarnya. Kau telah meninggalkan rangkaian kenangan indah di hati setiap orang, insya Allah kau memang dihadirkan untuk dimuliakan oleh semesta.
****

Memang, keanggunan bersematkan pada bunga yang selalu diam. Bolehkah aku diam untuk bisa mengakses keanggunan bunga. Pasalnya, diam bukan perkara mudah. Diam memerlukan perjuangan yang gigih agar bisa bersentuhan dengan kelembutan yang bertempat di dimensi batin. Bayangkan, kalau Anda ingin merasakan ramai, belajarlah pada mesin-mesin yang mati, yang tak jarang memekkan telinga, dan membudekkan batin. Saban hari, kita lebih sering menemukan keramaian, daripada suasana hening. Di jalan-jalan, kita tidak pernah terhindar dari suara mesin motor dan mobil, apalagi jika yang mengendarai berpenampilan ugal-ugalan.

Kalau kita makin tertarik pada suatu yang artifisial, justru semakin tidak menyukai diam, malah lebih senang dengan hiruk-pikuk keramaian. Bayangkan, kini kebanyakan orang terjangkiti penyakit tidak kerasan di rumah, pasalnya di rumah tidak ditemukan suasana ramai. Tidak menyukai keadaan yang sepi. Karenanya, mereka berselancar di suasana ramai dengan mengunjungi mall atau tempat-tempat hiburan. Bayangkan, berapa banyak orang yang memadati konser bernuansa hiburan, apalagi yang berjingkrak-jingkrak di panggung notabena penyanyi kelas internasional. Jika sudah berada di mall atau tempat hiburan, mereka seakan bisa mengobati kesepian yang mengungkungnya selama ini. Akan tetapi yakinilah saudaraku, hiburan yang Anda tonton tersebut tidak mewariskan kebahagiaan di batin. Bahkan hiburan itu telah menguras kebahagiaan di lahan batin Anda. Karena itu, tak jarang orang yang menonton konser yang membuat orang lalai pada Allah, merasa ada suatu yang hilang. Yang hilang itu adalah kebahagiaan. Anda hanya bisa menemukan kebahagiaan tatkala Anda bisa terkoneksi dengan zona hening dalam diri Anda sendiri.

Anda berlatih diam memerlukan ketekunan yang lebih ketimbang berlatih berbicara. Karena keterampilan berbicara mudah hanya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan public speaking plus hawa nafsu sangat menyukai berbicara. Apa-apa yang didukung hawa nafsu akan lebih mudah dikuasai. Adapun berlatih diam memang terasa sulit, karena hawa nafsu sendiri tidak menyukai diam. Berlatih diam, tidak hanya menutup lisan, tetapi juga mengekang hawa nafsu agar tidak sering menginterupsi kita untuk berbicara.

Ada saatnya, kita menyediakan waktu untuk berdiam dalam renung, sehingga kita bisa menyapa hening dalam diri kita, walhasil menemukan mutiara kearifan yang berjejak dalam diri kita. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

1 komentar: