Senin, 19 Maret 2012

MENGGAPAI KEKAYAAN HAKIKI




Jika ditanya ke semua orang, “apakah kalian menginginkan kekayaan?” serempak mereka jawab, “Yaa saya ingin sekali kaya!.” Kaya menjadi dambaan setiap manusia, kendati tidak semua orang bisa merengkuh kekayaan yang diharapkan. Seluruh rakyat negeri ini berminat menjadi orang kaya, tetapi kenyataannya kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang saja, bahkan mereka masih tega merampas hak rakyat yang sudah berada di lembah kemiskinan.

Ketahuilah kekayaan bukan hanya keinginan yang muncul dari kawah hawa nafsu, tetapi kekayaan juga didambakan oleh hati nurani. Bahkan sejatinya kekayaan definisi hawa nafsu hanya pantulan yang terdistorsi dari kekayaan yang dimaksud oleh hati nurani. Hati nurani mendambakan kekayaan, ketika dia telah merasakan kelezatan bermunajat pada Allah, berzikir pada Allah, dan timbul perasaan fakir dan butuh pada Allah semata-mata. Kalau orang telah mendapati kekayaan hakiki ini, dia tidak berharap kekayaan eksternal, dan dia selalu berada dalam keadaan bahagia, walau kondisi luar membenturnya ke tembok-tembok kesusahan. Siapa yang telah mendapati kekayaan batin, ia akan selalu mencapai bahagia setiap saat.

Selama ini banyak orang memburu kekayaan, sehingga rentang waktu 24 jam dihabiskan oleh perkara perolehan harta duniawi. Bahkan, walau mereka telah diberi waktu 24 jam, terasa masih kurang. Jika pemburu duniawi itu ditanya, apakah Anda sudah puas dengan capaian kekayaan yang Anda dapatkan di hari ini? Mereka akan menanggapinya, saya belum puas dengan perolehan saya di hari ini. Ketahuilah, tatkala di dalam hatinya telah lenyap perasaan puas terhadap anugerah duniawi ini, sejatinya ada kekayaan hakiki yang dicabut dari hatinya, yakni qonaah. Bilamana sifat qona’ah telah dicabut dari hatinya, justru hatinya akan selalu digoncang oleh persoalan duniawi, walhasil dia luput mendulang kebahagiaan yang hakiki.
Adalah seorang guru pernah bertamu pada orang kaya raya yang menghuni rumah sangat mewah. Pada saat berjumpa dengan pemilik rumah, tidak ada yang terlontar dari lisannya kecuali keluhan semata-mata. Mengeluh seolah menjadi menu hariannya, sehingga kekayaan yang didapatkan tidak memantulkan kekayaan di batinnya. Guru saya menyindir, “ji ji, masak rumah sebesar ini tidak turun setetes rahmat pun dari Allah?” demi mendengar perkataan sederhana dari guru, dia pun tersentak kaget menyadari betapa rahmat Allah yang dianugerahkan padanya amat besar, tetapi keluhan telah menindih rahmat tersebut, walhasil kebahagiaan tidak merealisasi dalam kehidupannya.

Kita sering menemui orang kaya, tetapi wajahnya terlihat amat miskin, disesaki berbagai keinginan, dan anehnya keinginan yang menggantung di pikirannya kerap berbenturan dengan keinginan Allah. Keinginan yang sering tidak tercapai telah menebalkan alasannya baginya untuk melontarkan keluhan yang tak pernah surut, sehingga dia selalu terlihat miskin. Tetapi, ada orang yang profesinya sebagai tukang sapu di jalan, dia selalu terlihat tersenyum indah, setiap orang yang melihatnya kadang cemburu akan kebahagiaan yang ditampilkan. Bagaimana kiranya dia bisa mengukir rumah kebahagiaan dalam hatinya, padahal jelas-jelas pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih digaji dengan tidak seberapa. Ya, kendati dia tidak memeroleh uang yang banyak, tetapi hatinya telah dianugerahi kekayaan oleh Allah, sehingga dia layak bahagia setiap saat.

Ada seorang guru yang telah mewakafkan dirinya pada umat. Waktunya lebih banyak dipergunakan mengajari umat ihwal ilmu agama, tidak ada pekerjaan yang bisa menjadi mesin nafkah bagi keluarganya. Hanya saja Allah selalu memberikan kecukupan dalam hidupnya. Ya, dia selalu dicukupkan oleh Allah, karena beliau mengenal dan meyakini Allah sebagai Yang Maha Mencukupi (al-Kafii), dan beliau sudah merasa cukup dengan Allah. Sepanjang hidup yang dijalani, beliau tidak pernah terdengar mengeluh apalagi mengelus dada oleh sesaknya persoalan duniawi.

Beliau selalu tersenyum, sehingga kondisi yang sebenanrya dari sosok ini tidak bisa diradar oleh orang lain. Karena beliau tak lagi terpengaruh dengan iklim kehidupan, dia telah menguasai iklim kehidupan, sehingga wajahnya selalu terlihat bercahaya bahkan ditumpahi perasaan syukur terus-menerus. Beliau tidak pernah meminta diperhatikan apalagi dikasihi orang lain, beliau merasa cukup dengan kasih sayang Allah SWT padanya, bahkan beliau selalu ingin berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Mungkin semua orang mengira bahwa beliau memiliki kekayaan yang melimpah, tak ayal ada orang yang terbelit ekonomi menghampirinya untuk memeroleh pinjaman uang. Ya, beliau memiliki kekayaan, tapi bukan kekayaan tersimpan di brankas atau di bank, tetapi beliau memiliki kekayaan yang terpendam dalam hatinya, sejalan dengan apa yang disampaikan Sayyidina Muhammad Saw melalui sabdanya, “tidak ada kekayaan itu adalah kekayaan yang diperoleh dari bumi (harta benda), hanya sanya kekayaan itu adalah kekayaan jiwa.”
Manakala orang telah menggapai kekayaan yang hakiki ini, maka wajahnya akan selalu terlihat sumbringah dan memancarkan spirit bagi orang yang menatap wajahnya. Setiap saat dia berbagi kekayaan—pencerahan—pada setiap orang yang dijumpai, bukankah hanya kata-katanya yang menerangi dan mencerahkan jiwa, bahkan wajahnya yang bening dan bercahaya turut menerangi hati orang yang menatapnya.

Marilah kita terus menerus menggali kekayaan yang terpendam dalam hati kita dengan melatih sifat qonaah (puas) dengan apa yang diberikan Allah, dan kita tidak puas dengan kebaikan yang kita lakukan. Sehingga kita selalu berusaha berbagi kebahagiaan dan kebaikan pada setiap orang… Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar