Senin, 19 Maret 2012

MENEPI UNTUK MENGGAPAI MUTIARA


Siapa yang tidak senang pada mutiara. Seluruh orang menyukai mutiara, kecuali orang yang tidak mengenali harga mutiara, atau mereka berada dalam kondisi yang terjepit, seperti orang yang hampir tenggelam hendak ditelan oleh air, maka mutiara tidak lagi memiliki harga baginya. Dia lebih menyukai orang memberikan ban bekas, agar dia bisa menepi dari hantaman ombak yang hendak menelannya.

Jika setiap orang menyukai mutiara, tentu kita tidak berhenti hanya menyukai mutiara, sehingga berjuang untuk menjadi mutiara. Kalau Anda bahagia karena berdekatan dengan mutiara, justru Anda akan didepak kegelisahan oleh karena dipaksa berpisah dari mutiara. Kita tidak berjuang meraih mutiara yang berasal dari samudera, akan tetapi bagaimana kita bisa mendulang mutiara yang bersembunyi dalam diri kita sendiri. Kalau Anda telah berhasil mengenali dan mengeruk mutiara yang bertempat dalam diri Anda sendiri, justru Anda akan diliputi kebahagiaan setiap saat. Lantas apa bedanya mutiara yang dikeruk dari samudera, dan yang didapati dalam samudera batin ini?

Jika orang mendapatkan mutiara dari samudera yang terbentang di alam raya, dia memeroleh kebahagiaan sebatas ketika mutiara berada di genggemannya. Dan mutiara yang dikeruk dari lautan tersebut pada saatnya melahirkan kebosanan. Seketika orang bosan, kebahagiaan yang dimaksud tak lebih sekadar gejala (bayang) kebahagiaan yang datang-pergi, timbul-tenggelam, dan bongkar-pasang. Tatkala orang menyandarkan kebahagiaan pada dimensi eksternal, pastilah dia akan selalu berada dalam posisi yang berjarak dengan dimensi yang membuatnya bahagia.


Dan lebih dari itu, bahwa orang yang menyandarkan kebahagiaan pada mutiara yang berada di eksternal dirinya, dia telah merendahkan posisi di hadapan benda-benda, bukankah hanya orang yang merendahkan dirinya di hadapan benda-benda, yang layak diperbudak oleh benda-benda, sehingga dia gagal bersentuhan dengan elemen kebahagiaan yang sejati.
Tak jarang orang menemukan kebanggaan dengan gelar yang disematkan padanya, menemukan kebahagiaan melalui kedudukan yang disandangkan padanya, mendapati kesenangan lewat aksesoris duniwi yang menghiasinya. Kebahagiaan yang bersandarkan pada sisi luar itu mengkonfirmasi bahwa seluruh dimensi kebahagiaan tersebut lebih agung ketimbang dirinya sendiri.

Allah telah memuliakan manusia ketimbang makhluk-Nya yang lain, dan manusia menjadi rendah lantaran orientasi dan sikapnya yang cenderung tertuju pada selain-Nya. Kalau manusia telah menjadikan Allah sebagai orientasi dan tujuan hidupnya, insya Allah kebahagiaan akan segera memancar indah dari dalam hatinya. Ya, kalau manusia berorientasi pada selain Allah, semua kebanggaan dunia tidak bisa mempersembahkan kebahagiaan sempurna bagi dirinya.

Becoming Mutiara

Saatnya kita harus menggali mutiara dalam diri kita sendiri, bahkan kita telah menjadi mutiara, sehingga kebahagiaan layak menempati hati kita setiap saat. Kalau Anda ingin merasakan mutiara dalam diri Anda, maka Anda harus bisa memahami bagaimana pasir bisa mengubah dirinya menjadi mutiara.

Pertama, tanamkan perasaan Anda bukan siapa-siapa, dan Anda adalah sehina pasir. Kalau Anda telusuri, pasir tidaklah lebih berharga ketimbang besi. Kalau Anda menjual besi dan pasir, tentu saja orang akan lebih membayar harga mahal bagi besi. Hanya saja, ketika pasir telah merubah dirinya menjadi mutiara, maka orang-orang kaya akan mendekati mutiara tersebut. Pun demikian, kalau Anda ingin mengenal harga manusia yang dimuliakan Allah dalam dirimu, ternyata bukan didapatkan dengan menyombongkan diri.

Hargailah diri Anda seperti halnya pasir, yang pada mulanya diinjak-injak, bahkan pasir menepi dari berbagai hiruk-pikuk gelombang. Tatkala pasir menepi, pada saatnya ia disauk gelombang untuk dibawa menuju tengah samudera, berikut ditarik ke titik pusaran gelombang sehingga mencapai kedalaman samudera. Kemudian, ia dipertemukan dengan kerang yang siap memprosesnya menjadi mutiara. Ringkasnya, pada saat manusia sudah pupus perasaan berharganya, justru sebagai proses memuliakan dirinya di hadapan Allah.

Kecilkan dirimu seperti pasir, dan biarkan dirimu dihina, dan jangan pernah merasa disakiti oleh hinaan orang yang menghina, lenyapkan segala bentuk pengakuan yang hanya membesarkan dirimu, maka siap-siaplah Anda akan ditarik menuju medan magnet Ilahi. Bukankah hanya orang yang merasa hina yang akan dimuliakan oleh Allah, hanya orang yang merasa bodoh yang akan dialiri ilmu dan hikmah oleh Allah, dan hanya orang yang tak merasa berdaya yang justru akan diperkuat oleh Allah SWT. Gampangnya, orang yang telah merasa sebagai mutiara, justru tidak akan diproses menjadi mutiara yang mengabarkan kebahagiaan bagi orang lain.
Berkait dengan mutiara dan pasir, saya teringat pada sebuah kisah, seorang pelayan yang mendampingi majikannya dalam sebuah perjalanan. Di tengah perjalanan, rupanya sang majikan dongkol dengan perilaku pelayannya, sehingga dia selalu mengoceh dan mencaci maki si pelayan. “kau tak lebih berharga daripada pasir,” kata majikan dengan nada kesal. “Ya, saya memang tak lebih daripada pasir ini, dan engkau adalah mutiara,” kata si pelayan sembari menggenggam pasir. “tapi, walau ini hanya sejumput pasir, dan engkau adalah mutiara, pasir tetap yang pertama kali mendapatkan pancaran sinar matahari. Dan mutiara yang ditaruh di lemari yang memiliki pengaman yang berlapis-lapis, justru sama-sekali terhalang dari pancaran sinar matahari,” lanjut si pelayan layaknya pengkhotbah.

Selintas perbincangan itu mengabarkan pada kita, bahwa kalau Anda ingin menjadi mutiara yang hakiki, jangan pernah sedikit pun terbetik perasaan bahwa Anda adalah mutiara. Jangan pernah sedikit pun Anda menahbiskan diri sebagai sosok yang mulia. Alih-alih orang bersematkan kemuliaan tatkala merasa mulia, malah akan terpuruk dalam kehinaan.
Kedua, berserah dirilah. Penyerahan diri sebagai jalan tercepat agar Anda ditarik menuju titik pusat Ilahiah, walhasil dia akan bercengkerama dengan pusat kebahagiaan yang tanpa batas. Bayangkan, pasir yang menepi tidak seterusnya dia bersikukuh untuk menepi, justru dia akan selalu berserah diri, sehingga ada gelombang besar yang menggapainya menarik ke pusat arus gelombang. Dengan berserah diri, manusia akan gampang ditarik oleh Allah.
Sadarilah, sikap berserah diri menandakan bahwa orang telah memupus penghalang baginya dari Allah SWT. Jiwanya berada di titik terdekat dengan Allah SWT, sehingga gerakan yang dilakoni selalu dijiwai dengan spirit Ilahi. Jika hati telah disepuh dengan penyerahan diri, berarti dia pupus dari daya dan kekuatan dirinya sendiri, menuju daya dan kekuatan Allah SWT. Karenanya, jika orang telah menggapai pengalaman batin “Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah”, dia telah mendapati perbendaharaan kekayaan yang tak pernah lenyap. Dia telah bersama Allah setiap saat. Siapakah kiranya yang akan terdera penderitaan manakala sudah bersama dengan Yang Maha Menguasai bumi dan langit dan Maha Kaya?

Menepilah seperti pasir, agar kau dibawa oleh arus Ilahi untuk diproses sebagai mutiara yang amat berharga Sehingga kau tidak hanya mendapatkan kebahagiaan, kau telah diproses sebagai kebahagiaan itu sendiri. Setiap orang yang memandangmu akan selalu mengakses kebahagiaan yang hakiki. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar