Jumat, 15 Mei 2009

ALLAH MENGHENDAKI KEBAHAGIAAN




Kebahagiaan menjadi harapan utama setiap insan, bahkan seluruh makhluk yang bermukim di jagat semesta ini tak luput dari kehendak menggapai kebahagiaan. Cacing yang hidup tanpa mata, tanpa telinga menyusur tanah sebagai makanannya, dengannya ia mempertahankan hidupnya. Efeknya, tanah pertanian menjadi gempur, dan petani bisa bercocok tanam di lahan yang subur. Dari tanah yang subur insya Allah akan menghasilkan panen yang makmur. Tikus, ketika dikejar kucing, niscaya akan lari pontang-panting ke sarang pengaman demi mengelak bahaya yang mengancam. Ia lakukan karena menghendaki kebahagiaan. Pohon, kendati tidak ditanam dan disiram manusia, akan tetap tumbuh hingga berbuah. Seluruh fenomena perilaku makhluk yang tersaji di depan kita menandakan bahwa seluruh kehidupan ini menghendaki kebahagiaan. Siapakah yang telah menyusupkan kehendak bahagia itu? Siapakah yang betul-betul mengerti dan memahami cara untuk memeroleh kebahagiaan? Perlulah kiranya kita renungkan. 

Sebagai pertanda Allah menghendaki makhlukNya bahagia, Dia telah menetapkan berbagai peraturan yang perlu dijalani manusia guna menempuh kebahagiaan. Kita menyadari kebahagiaan bukan suatu yang instant, seketika diperoleh. Sebagai sebuah kehendak, maka kebahagiaan menjadi cita-cita. Setiap cita-cita harus diperjuangkan, membutuhkan effort atau usaha yang keras. Demi menggapai cita-cita berupa bahagia, kita perlu menempuh pelbagai langkah yang telah ditentukan Allah SWT. 

Allah adalah sentrum kebahagiaan. Tak ada yang dilakukan Allah kecuali demi kebahagiaan itu sendiri. Hanya saja, manusia sering berlaku inkonsisten antara kehendak bahagia yang hadir dari hati nurani dengan perilaku hidup yang ditampilkan. Katanya manusia ingin bahagia, tetapi kenapa perilaku hidupnya kerap kali kontras dengan kehendak agung tersebut? Dan mengapa pula, ada orang yag terus dibelit derita? Ya, manusia tersingkir dari lingkaran kebahagiaan lantaran melulu mengikuti kehendak hawa nafsu. Kalau kita renungkan, seluruh pergerakan hawa nafsu bukan untuk menumbuhkan kebahagiaan, hanya meneteskan secuil kesenangan yang akhirnya menurunkan kesedihan ke rongga batin. Kebahagiaan terikat pada kesungguhan manusia mengendalikan hawa nafsu, “Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41).

Allah tidak pernah berbuat dzalim pada hambaNya kecuali hamba sendiri yang berlaku dzalim pada dirinya sendiri. Penderitaan menimpa kita lantaran perilaku dan sikap hidup kita sendiri. Adapun Allah hanya menghendaki kebahagiaan bagi kita. 

Karena Allah tidak menghendaki kecuali kebahagiaan, maka segala hal menempa dan menerpa kita hanya demi tercapainya kebahagiaan. Kita dianjurkan shalat guna bisa mencerap kebahagiaan dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Allah menetapkan kehendak tasyrik, berupa perintah dan larangan, serta kehendak takwin, berupa qoda’ dan qadar, sesungguhnya menghendaki hidup kita berlimpah kebahagiaan. Pembatas-pembatas yang ditetapkan Allah tidak untuk menyandera kebahagiaan kita, bahkan bagaimana mempertahankan kebahagiaan yang bermukim dalam hati kita. Puasa sebagai perisai pencegah dari perbuatan tercela diharapkan bisa mengukuhkan kebahagiaan itu sendiri. Andai manusia tidak berpuasa, justru akan mudah terseret ke dalam perbuatan maksiat. Dari puasa diharapkan ada sistem kontrol yang handal, sehingga manusia tetap terarah menjalani kebaikan. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan. Target dari semua target adalah kebahagiaan. 

Allah Maha Mengetahui resep untuk meraih kebahagiaan, karena dariNya kebahagiaan itu dicurahkan. Ketika orang menyandarkan hidupnya pada Allah, niscaya kebahagiaan pun akan meliputinya. Namun, bila manusia telah berpaling dari Allah SWT, maka kebahagiaan tersingkir dari taman hatinya. Dari situ, kita bisa meneguhkan kesadaran akan kata-kata penuh daya, “Tuhanku, Engkaulah Tujuanku, RidhaMU yang aku cari.” Antara kebahagiaan sebagai tujuan dan Allah sebagai tujuan tidak bisa dipisahkan dan dibedakan. Allah menyatu dalam kebahagiaan, dan kebahagiaan menyatu padaNya. Tujuan yang integral. 

Karena Allah menghendaki kebahagiaan bagi jagat semesta, maka seluruh peraturan syariat yang ditetapkan bagi manusia tidak pernah lepas dari kehendak inti tersebut. Andai kita menyadari secara mendalam akan kehendak dibalik kehendak Allah, kita akan selalu meluapkan rasa syukur yang tak pernah jeda atas karunia Allah yang terus mengalir dalam hidup ini. 

Sekarang kita memahami, kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan, berarti kita bisa bahagia dalam setiap keadaan yang menghampiri kita. Karena itu, tidak ada kata yang patut kita serukan terus-menerus dalam setiap kesempatan, kecuali alhamdulillah, cermin spirit syukur yang tak pernah sirna dalam hati kita. Bagaimana cara kita memantik kebahagiaan? Ya, kebahagiaan terbungkus dalam syukur. Manakala kita meluncurkan semangat syukur setiap saat, maka kebahagiaan bakal menghias hidup kita.

Syukur salah satu jalan memeroleh kebahagiaan yang kekal dalam hati. Orang bersyukur karena dua faktor. Pertama, bersyukur karena nikmat yang diperoleh. Kedua, bersyukur karena mengingat yang menganugerahkan nikmat, yakni Allah SWT. Yang kedua ini, bersyukur dalam segala keadaan, karena terpaku pada pesona Allah SWT. Dia mengenal tentang sifat-sifat Allah yang full kebaikan. Tak heran, ia masih bersyukur bahagia dalam keadaan yang tercepit sekalipun lantaran merasa Allah masih mencurahkan kasih sayangNya. Andai kita menyadari secara menyeluruh bahwa penciptaan alam semesta didasari rasa kasih sayang Allah, niscaya kita akan menemukan syukur di segala keadaan. 

Karena terpesona pada kasih sayang Allah yang meliputi seluruh jagat ini, maka orang-orang arif selalu memiliki alasan untuk melulu bersyukur pada Allah SWT. Ada seorang arif bertutur, “kalau ayam “nyeker-nyeker” untuk memeroleh sebutir makanan, sementara orang arif “nyeker-nyeker” untuk memperoleh alhamdulillah.” Dan orang arif selalu meraup spirit alhamdulillah di setiap kesempatan. Karena itu, ia selalu berhasil menangkap keindahan di setiap keadaan. Mengapa orang arif selalu bersyukur di setiap keadaan? Karena mereka meyakini secara mendalam bahwa sifat Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, telah mendasari setiap peristiwa dan kejadian yang menyembul ke permukaan. Andaikan ada musibah, bukanlah serta merta mengundang kesedihan yang mencekam bagi dirinya, malahan dia terus mengingat Allah dibalik musibah itu, mengingatkan kebaikanNya yang tak pernah pudar. Makanya ia peroleh kebahagiaan. 

Agar kita selaras dengan kehendak dibalik kehendak Allah berupa kebahagiaan, maka kita diharapkan selalu membudayakan syukur di setiap kesempatan. 



KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar