Selasa, 26 Mei 2009

DESAH NAFAS KEBAHAGIAAN



Bahagia tak bisa dilukiskan oleh tebaran kata-kata. Bahkan semakin dilukiskan, kebahagiaan itu tak berasa. Kebahagiaan melekat dalam kesenyapan dan diam. Saya merasakan bahagia kala berada antara tarikan dan hembusan nafas. Ketika saya menikmati dan menghayati hirupan dan hembusan nafas dengan detail dipandu kelembutan rasa, di ujungnya membersit kebahagiaan. Akan tetapi, bila saya tak meresapi dengan serius, setiap hirupan dan hembusan nafas, niscaya hidup yang kujalani seolah tak menyajikan makna bahagia. Bahkan cenderung menyodok di dataran kehampaan. Kunci memantik kebahagiaan adalah merasakan dan menghayati kekinian yang terus berjalan. Kebahagiaan berada antara lintasan awal dan akhir, bermukim di saat ini yang abadi. Kala kita bisa menikmati momen keabadian ini, kebahagiaan itu akan meluber dalam hati kita. 

Memaknai desah nafas berguna untuk memahami arti hidup. Andai hidup tidak menempel pada diri kita, mungkinkah kita bakal merasakan keindahan dari setiap lintasan kejadian yang telah kita tapaki. Modal dasar bernama hidup telah mengantarkan anugerah lainnya, dan berujung pada kebahagiaan. Berarti, lantaran adanya hidup, kebahagiaan bersemai dalam diri kita. Hidup disini tidak hanya hidup jasmani, namun hidup yang mendasari hidup jasmani, yakni hidup ruhani. Andai ruhani kita hidup, insya Allah kebahagiaan akan mengalir ke muara hati kita. 

Apa tanda dan bagaimana menghidupkan ruhani? Ruhani hidup ditandai dengan rasa, ya merasa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagaimana kala kita disalak kedukaan dan kesedihan? Kedukaan menyangkut hal duniawi menandakan matinya ruhani. Namun kedukaan lantaran merasa jauh dari Allah, adalah tanda hidupnya ruhani. Saya pernah bertutur pada teman saya, “Saat Anda merasa mengalami kematian ruhani, itu pertanda hidupnya ruhani.” Serupa dengan datangnya penyesalan pertanda terbitnya fajar kebahagiaan. Saat hati begitu lama terkurung dalam kegelapan, dan cahaya kebenaran menerobos bilik-bilik hati kita, maka kebahagiaan itu akan meresap di hati. 

Sudahkah kita merasakan kebahagiaan? Andai kebahagiana masih belum dirasakan, sepatutnya kita memeriksa diri sendiri, mungkin bertumpuknya dosa dan kesalahan telah menghalangi kita mencapai kebahagiaan itu. Atau mungkin keringnya rasa syukur di hati kita atas anugerah Allah yang amat berlimpah. Bukankah syukur sebagai resepsionis hadirnya kebahagiaan? Daya tarik berkunjungnya kebahagiaan ke dalam hati kita, lantaran hati kita selalu menyuguhkan rasa syukur yang tak pernah jeda. Kapan harus bersyukur? Syukur tak hanya digunakan saat menggapai kenikmatan, pun saat kejadian pahit menabrak, kita harus rela menyuguhkan syukur. Karena rumus yang hakiki, bukan kebahagiaan yang mengantarkan syukur, namun syukurlah yang mengantarkan kebahagiaan. Kalau kita hendak menyematkan kebahagiaan di hati, perlu kiranya kita membahanakan nyanyian syukur setiap saat, mengikuti tarikan dan hembusan nafas. 

Ketika tarikan dan hembusan nafas dialiri spirit syukur, insya Allah setiap tarikan dan hembusan nafas terasa ringan. Memang, dengan bermodalkan bahagia yang direnda dari syukur, insya Allah hidup bakal menjadi lebih ringan. Setidaknya mata tidak melotot, kening tidak mengerut, dan tangan tak mengepal. Yang terpampang penampilan diri berhiaskan senyum yang terus mengembang, wajah melulu menebarkan pancaran optimisme, dan tangan selalu berposisi terbuka. 

Mungkin saatnya saya menghayati kebahagiaan, bukan memikirkan kebahagiaan. Semoga Allah SWT mencurahkan hidayahNya pada kita semua agar terus bisa merasakan dan menghayati kebahagiaan lewat tarikan dan hembusan nafas. Wallahu A’lam Bisshowaab. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar