Sabtu, 30 Mei 2009

MELUMAT DIRI YANG KASAR




“Ah…! mengapa begitu sulit melumat diri sendiri,” teriak batinku. Anda tahu sendiri setiap kata seolah memberi penerangan, namun mungkinkah ada lampu yang terang dalam hati? Kemunafikan kerap merongrong perasaan ini hingga sulit meraih kebeningan dalam setiap kata. Banyak kata belum menjelma sebagai perbuatan yang hakiki. Tak bisa dibayangkan, kalau diri saya seperti orang mengayak pasir, yang halus keluar, tetapi kerikil yang kasar masih melekat. Betapa sering terungkap kata-kata suci, sarat kearifan, meski sesungguhnya hati masih jauh dari kesucian dan kearifan itu. Mungkinkah ini yang dimaksud punguk merindukan rembulan? Masih sering menuding orang dengan segenap kesalahan, sehingga lalai akan kekeliruan yang lengket pada diri sendiri. Kerap kali berpikir perkara besar, namun lalai dengan urusan-urusan kecil. 

Tak kebayang, saat publik tengah terpesona oleh perbincangan tentang Pilpres, saya juga terbawa-bawa untuk mengulas, menganalisa, dan memberikan penilaian tentang tokoh, tak kalah dengan pengamat politik yang beken di negeri ini. Bedanya, kalau pernyataan politisi dituliskan dan disiarkan media massa secara luas, sementara kata-kata saya hanya didengarkan diri sendiri. Bagaimana orang lain mau mendengarkan, kalau yang dikatakan membuat orang bingung dan gamang. Alih-alih mendapatkan pencerahan politik, hanya sebatas menyisakan kemarahan yang menggumpal menjadi kesusahan. 

Di tengah sibuknya politisi meraih kekuasaan, saya kadang terlena menonton perang wacana yang dihelat mereka. Makin terlena, otak ini dipenuhi beragam informasi yang membuat diri makin jauh dari ketenangan, berikut saya dinyatakan positif “political addictive”. Seolah kalau tak membumbui perbincangan dengan politik, pikiran ini jadi gatal, dan terus didorong-didorong berbicara politik. Kadang menyalahkan langkah politik partai ini, capres ini, dan kadang ikut-ikut meneliti jejak rekam para capres-cawapres, tak kalah dengan KPK. Saat mendengar berita, calon pemimpin itu kaya raya, bahkan ada satu sosok yang punya kekayaan trilliunan, hatiku bergidik. Seperti apa uang 1 trilliunan? Bolehkah saya memegangnya sebentaaar saja? “Kok jadi hubbud dunya gini ya?”

Kalau elit berpikir kekuasaan. Tetapi sahabat saya berpikir memenuhi hidupnya yang masih kempang-kempis. Lumayan, ia masih baru membangun rumah tangganya. Memang, ia cepat-cepat menikah, untuk mengurangi kemaksiatan. Dia sempat meminta pertimbangan saya sebelum menikah, kendati saya sendiri belum menikah. Setelah mengetahui akar permasalahannya, saya memintanya menikah. Ya, sahabat saya ini, bukan karyawan, hanya seorang pemelihara burung. Ia tidak bisa menaksir pendapatan yang diperoleh dari memelihara burung tersebut setiap bulannya. Meski demikian, dia memeroleh pendapatan lain dari antar jemput anak SD. Cukuplah bertahan hidup bersama istrinya.

Suatu ketika, sahabat saya itu, sakit paru-paru. Memang, karena sudah bertahun-tahun berbatuk, dan batuk yang sekarang mengeluarkan darah mengental. Saat periksa di RS Dr Soetomo, dia mencari-cari pelayanan umum, yang kiranya memberikan pelayanan gratis. Eh, ternyata dia harus dirawat di kamar spesialis paru-paru. Namun, sebelum dirawat dia harus menandatangani perjanjian yang telah disediakan dokter. Melihat ada uang yang harus dibayarkan dalam perawatan tersebut, ia pun mengurungkan niat untuk diperiksa secara intensif. Kata dokter, “kamu harus dirawat inap, kalau tidak penyakitmu akan semakin parah,” “Biarlah dokter saya rawat di rumah saja, ketimbang harus mengeluarkan uang yang begitu banyak.” Ujar temanku dengan polos. “Mas, harus tetap dirawat disini, karena menurut UU Kesehatan, rumah sakit tidak boleh menolak pasien lantaran masalah uang, “tukas dokter lagi. “Enggak apa-apa pak, saya mau dirawat di rumah saja,” seloroh temanku.

Bercermin pada temanku yang amat sederhana ini, saya terpaku memikirkan diriku sendiri yang masih bisa terbang bebas, belum berkeluarga, sehat wal’afiat, dan masih bisa mempertahankan hidup di Surabaya dengan karunia Allah yang begitu melimpah. Ya, mungkin secara lahiriah saya amat beruntung, namun secara batiniah, temanku mungkin lebih beruntung, karena dia telah menjalani rentetan kehidupannya dengan semangat sabar yang tak memudar. Dia mampu bersabar dengan segenap latihan-latihan yang menghantam, gurat-gurat kedewasaan mulai terpancar dari wajahnya yang terlihat polos dan penuh kejujuran. 

Dia tetap bersabar dengan musibah yang datang. Namun, saya masih harus berguru padanya guna melatih kesabaran. Temanku adalah guruku yang telah mengajari tentang arti kesabaran. Sabar tidak benderang dalam kata, tetapi menjadi cahaya dalam sikap keseharian. Memang, sabar tak cukup hanya dilontarkan oleh tebaran kata, namun harus menjadi bagian dari sikap hidup sehari-hari. Dan dengan kekuatan sabar itulah, saya meyakini bisa “melumat diri yang kasar.” Manakala saya sudah berhasil melumat dan menggusur yang kasar, maka kehalusan budi bakal menghias hidup ini. Insya Allah. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar