Kamis, 28 Mei 2009

YANG TERJADI ADALAH YANG TERBAIK



Adalah kebaikan telah melekat pada segala sesuatu. Hanya orang yang tak bisa menelisiki kebaikan yang tak berhasil merasakan kebaikan dalam segala sesuatu. Mengapa setiap yang terjadi dipandang yang terbaik? Mesti diantara kita ada yang hendak protes, jika setiap kejadian dipandang suatu yang terbaik. Lantaran hidup terus didera kesulitan dan ditempa cobaan, menggerakkannya membuat kesimpulan, hidup tak terliputi kebaikan. Bagi seorang anak, yang dibangunkan sang ibu saat subuh tiba sembari diajak ke masjid untuk shalat berjamaah, maka akan muncul dua sikap. Jika tidur dianggap yang terbaik, niscaya si anak menilai perlakuan sang ibu – membangunkan dari tidur pulasnya – tidak baik. Sebaliknya, jika si anak menganggap perlakuan ibu untuk melatih kedisiplinan beribadah, maka itulah yang terbaik. Dan kalau disorot dari kacamata yang bening, motivasi sejati si ibu adalah untuk meneguhkan kedisiplinan si anak dalam beribadah. 

Kebaikan Allah itu melampaui kebaikan seorang Ibu. Setiap perbuatan Allah bagi makhlukNya telah diramu dengan spirit kebaikan. Hanya bagi orang tidak menyadari rahasia kebaikan Allah, tergerak untuk protes atau berlaku jengkel dengan apa yang terjadi. Mengapa perasaan jengkel, marah, dan kesal kerap menyelubungi hati dalam bentuk respons negatif terhadap kejadian? Karena mereka menilai kebaikan dari lensa pikirannya yang terbatas. Karena itu, perlu kiranya kita bercermin pada firman Allah, “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).

Bagi orang yang belum dewasa secara spiritual, cenderung berlaku resisten atau menolak atas peristiwa atau kejadian pahit yang menimpa dirinya. Namun, bagi yang dewasa selalu menggemakan spirit “alhamdulillah” di setiap kesempatan, lantaran mereka telah melihat kebaikan di langit-langit kehidupan ini. Mereka berhasil meliput secara utuh bangunan kehidupan ini. Ya, ketika kita melihat hidup secara parsial, bisa jadi banyak nuansa yang memancing kejengkelan, namun ketika melihat secara utuh, maka yang tersisa hanya kesan keindahan yang tak pernah pudar. 

Andaikan desain makro kehidupan itu kebaikan, mengapa banyak orang tidak bisa mencerap kebaikan dalam bentuk kebahagiaan? Yang membuat orang tidak mendapati kebahagiaan, lantaran lemahnya keyakinan yang berujung pada rapuhnya semangat berserah diri. Pribadi yang berserah diri telah memahatkan keyakinan dalam hatinya, Allah memiliki sifat Qudrah (Maha berkuasa), Iradah (Maha Berkehendak), Ilmu (Maha Tahu), dan Hayah (Maha Hidup). Lewat sifat Allah yang agung itulah peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi kejadian menyeruak ke permukaan. Berarti, setiap peristiwa dan kejadian telah diramu dengan sifat-sifat Allah Yang Agung itu. Setiap peristiwa mencerminkan kuasa Allah, kuasa Allah mengikuti kehendak Allah, kehendak Allah mengikuti ilmu Allah. IlmuNya yang tak terbatas dan Maha Luas memantapkan keyakinan di hati, seluruh peristiwa dan kejadian telah ditata dengan ilmuNya. Manusia tak bisa menjangkau ilmuNya yang demikian luas. Lebih dari itu, setiap lekuk kehidupan terliput rahmat Allah yang demikian luas tak terbatas. “…Allah berfirman ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (QS. Al-A’raf [7]: 165).

Berpijak pada ayat diatas, pantaslah bagi kita memilih sikap berserah diri selaku refleksi keyakinan utuh atas kebaikan Allah, sembari menyadari segala sesuatu telah diliputi rahmat Allah. Pun terpahat dalam kesadaran sejati, tak ada yang salah dalam takdir. 

Kala kita menyadari bahwa yang terjadi itulah yang terbaik, niscaya kita bakal berhasil menikmati kehidupan dari waktu ke waktu, dari detik ke detik, dan dari momen ke momen yang terus berjalan. Tak pernah tersandera masa lalu, lantaran cuma masuk dalam figura kenangan semata, dan tak tertarik dengan masa depan, karena masa depan hanya dalam mimpi. Dan hari ini sebagai kenyataan pasti yang harus dihadapi dan dinikmati dengan mental syukur. 

Sungguh, andai kebaikan disandarkan pada keinginan manusia, niscaya kehidupan ini akan karut-marut, sembrawut, dan terus mengalami benturan satu sama lain. Mengapa? Lantaran setiap orang memiliki keinginan masing-masing. Bayangkan, tukang jas hujan menginginkan hari-hari tetap dalam keadaan hujan agar produknya laku keras, namun tukang jual es menginginkan setiap hari terik matahari yang membuat manusia haus, sehingga esnya terjual. Ketika desain kehidupan disandarkan pada keinginan manusia, niscaya kehidupan menjadi sembrawut karena setiap otak punya keinginan sendiri-sendiri. 

Sungguh amat bijaksana, jika kebaikan bertumpu pada kehendak universal, yakni kehendak Allah SWT yang Maha Mengetahui rahasia kehidupan. Andaikan di depan kita telah dihidangkan menu makanan, kita tinggal melahap menu tersebut dengan jiwa syukur. Orang yang memiliki keinginan tak bisa hidup hari ini. Meski dia telah memeroleh apa yang diinginkan, niscaya akan tumbuh keinginan berikutnya. Betapa tersiksanya orang yang terpenjara oleh keinginannya. Jika ada orang yang hidup di istana bertatahkan emas, namun masih diberondong keinginan, maka kebahagiaan tidak memeluk dirinya. Dan ada gelandangan hidup di jalanan, namun ia tak terjebak dengan aneka keinginan. Bahkan, ia memilih untuk terus mengikuti arus takdir tanpa resisten sedikit pun. Dengan sikap tersebut, insya Allah kebahagiaan merambat ke dalam jiwanya. 

Pun kebahagiaan sulit mengembang di rongga hati lantaran selalu fokus dengan tujuan. Andaikan Anda pergi ke Jakarta dengan menaiki kereta api, tapi di pikiran Anda hanya terfokus pada Jakarta, didera rasa penuh terburu-buru agar segera sampai ke tujuan, niscaya Anda tidak bisa menikmati dan menghayati perjalanan menuju Jakarta. Sungguh, amat disayangkan perjalanan yang harusnya menghadirkan kenikmatan telah terbajak keinginan yang belum tentu terjadi. Selayaknya Anda bisa menikmati perjalanan itu dengan melihat petak-petak sawah yang dihiasi tanaman hijau, memandangi deretan pohon bergelantungan buah yang berdiri kokoh di pinggir jalan, atau bisa memandangi petani yang tengah bermesraan dengan pertaniannya. Sungguh, andaikan Anda berusaha menghayati dan meresapi setiap lekuk perjalanan itu, niscaya kenikmatan akan terasa menerangi kesadaran Anda. 

Patutlah kiranya kita tidak terlalu berlebihan memikirkan tujuan. Dikarenakan orang yang cenderung fokus memikirkan tujuan, akan terbajak dalam dunia ilusi. Dunia yang tidak membuatnya bisa hidup saat ini. Pikiran hanya tertuju pada impian, bayangan, dan ilusi masa depan yang belum tentu ditemui. Lantaran itu, mereka tidak pernah peduli dengan hari ini, apalagi menikmati. Meski pun hari ini menyodorkan emas, maka terasa sebagai tembaga. Meski disuguhkan makanan yang lezat, baginya terasa basi dan tak menggairahkan. Seberapapun uang berada di kantong, tanpa dijiwai dengan kekinian, niscaya kebahagiaan tak akan juga berkunjung. 

Demikianlah, ciri orang yang selalu terkurung dalam ilusi yang semu. Ilusi akan terus menyergap manusia dalam penderitaan dan kekecewaan, tak ayal wajahnya jauh dari kesumbringahan, keningnya pun terkesan selalu mengerut, sikapnya seolah selalu ditindih ketegangan demi ketegangan. Kalau demikian, darimana dia bisa merengkuh ketenangan atau kebahagiaan? Andaikan dia mengerti, ternyata kebahagiaan tak berada saat orang memikirkan yang akan datang. Kebahagiaan memantul kala manusia merenungi dan mensyukuri keadaan hari ini. Kebahagiaan akan mekar setara dengan semangat syukur yang mengembang atas keadaannya saat ini. Dalam syukur terbungkus kebahagiaan.

Pun agar kita bisa menghayati dan menikmati hari ini, perlu kiranya dibenamkan dalam hati kita masing-masing untuk berserah diri pada Allah. Karena bercokolnya panglima pikiran dalam hidup kita, sikap berserah diri kadang sulit dijalani. Kendati demikian, kita terus berlatih berserah diri dengan melepaskan jerat pikiran yang cenderung memilah dan memilih sehingga mau menerima kenyataan yang hadir dengan lapang. Tidak timbul sedikit pun sikap resisten atas kenyataan yang berkunjung. Andai kita telah luruh di hadapan Allah dengan hidup tanpa resistensi sedikit pun, terkristalisasi semangat berserah diri, walhasil insya Allah kebahagiaan akan tercurah dalam hati kita. 

Begitu bermakna dan pentingnya berserah diri, patut kiranya kita memungkasi tulisan ini dengan sepenggal kata hikmah penuh daya, “Ketika kita berserah diri dan menerima bahwa yang terjadi itulah yang terbaik, maka setiap saat akan menjadi saat yang penuh kebahagiaan.” Wallahu A’lam bis Showaab.

KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar