Minggu, 10 Mei 2009

MEMULUNG HIKMAH DIBALIK PENGGUSURAN JAGIR



Tepat hari Sabtu, 9 Mei 2009, Usai shalat Ashar, saya sengaja melewati jalan sepanjang Jagir Wonokromo yang dikena penggusuran. Warga korban penggusuran, ada yang masih tetap bertahan di tempat hunian mereka dengan beratapkan terpal. Menatap wajah mereka menghadirkan rasa kasih yang begitu mendalam di hati ini. Mereka seakan tak memiliki pilihan, kecuali tetap melanjutkan hidup di antara reruntuhan bekas rumah mereka. Pada mulanya, melihat kenyataan menyedihkan itu, terasa mengalir kegeraman pada Pemkot Surabaya yang sewenang-wenang menggusur rumah warga Jagir yang nantinya akan digantikan dengan hutan kota. “Masak kebutuhan primer warga digantikan dengan kebutuhan sekunder?” Mungkin kata-kata ini hanya ingin meluapkan perasaan yang membuai diantara rongga dada ini. 
 
Selintas saya melihat tulisan “Nasib Turuku di Jl. Aspal.” Sepenggal kata itu sederhana dan bisa jadi sebagian orang menganggapnya keisengan, namun itulah curahan dari kegetiran yang bergumul dalam hatinya. Mereka tak punya pilihan lain kecuali menerima apa adanya. Uang mengontrak rumah di Surabaya mana cukup, numpang di rumah relasi, mana ada relasi. Wah mereka juga gak kenal, apa kata relasi. Relasi mereka ya setidaknya sesama korban penggusuran. Sampah serapah hanya seperti nyanyian berlalu. Hujatan-hujatan yang mendesis malah menambah sakit hatinya. Sesuai tingkat pemahaman mereka, kemungkinan besar kata-kata sarat hujatan pada Pemkot memuntah dari lisan mereka. 

Meski demikian meratapi nasib dan tenggelam dalam kesedihan tidak mengundang hikmah yang mencahayai hati. Andaikan hidup terus ditanami kegeraman pada Pemkot yang terkesan sewenang-wenang, malah membuat diri tidak produktif guna melampaui masalah tersebut. Makin fokus pada kesalahan yang diperbuat Pemkot Surabaya, niscaya mereka semakin jauh dari hikmah yang mengilhaminya untuk menyikapi masalah dengan kualitas terbaik. 

Saya melihat mereka sibuk mengemasi perabotan rumah yang tersisa, ada juga yang mengumpulkan beberapa besi-besi bekas tiang bangunan, memilih kayu-kayu yang masih bisa dipergunakan. Terlihat juga beberapa orang memilih tetap berteduh di bawah tenda yang sebatas beratapkan terpal, sambil berdiskusi, menyeduh kopi masih hangat, sambil makan, akan tetapi mereka seperti tidak menikmati keadaan itu. 

Melihat kenyataan memilukan itu, saya yang bukan pejabat pemerintah, bukan pengusaha yang superkaya, juga bukan ahli ilmu yang bisa menebarkan pencerahan dan ketenangan bagi jiwa mereka, hanya bisa mengelus dada, berusaha menghubungkan batin ini dengan sumber perasaan yang mereka alami saat ini. Namun setibanya di kos-kosan, saya terus merenungi kejadian itu berikut efek yang ditimbulkan. 

Kalau mendasari pengamatan itu dengan kacamata logika argumentative, niscaya akan ada serentetan pemikiran yang membuat hati makin benci pada Pemkot. Tapi, andai disuluh dari sudut pandang hikmah, insya Allah saya bakal memeroleh aneka hikmah dari kejadian yang menghadirkan kegamangan di ratusan atau ribuan orang yang tergusur. Kalau saya mendasari pemahaman atas kejadian dari sudut pandang logika, niscaya hanya mewariskan rasa sakit hati dan terus menyalahkan keadaan, akan tetapi kalau saya mendasarinya dari sudut pandang hikmah, akan mengundang ketenangan bagi batin. Karena itu, saya memilih untuk bisa melihat dari sisi hikmah.

Merujuk pada paparan yang kerap dikemukakan oleh guru yang mulia, “HUJAN TURUN DIBALIK PETIR,” “DIBALIK KESULITAN ADA KEMUDAHAN’ “KEINGINAN BERSEMBUNYI DIBALIK SUATU YANG DIBENCI,” “TAK ADA PEMBONGKARAN KECUALI DISITU AKAN DIDIRIKAN BANGUNAN BARU” dan beberapa kata hikmah lain mengilhami saya untuk menjelajahi dan menunggu hikmah yang dihadirkan dari peristiwa tersebut. 

Kita mencari hikmah lantaran kita meyakini bahwa tidak ada suatu yang terjadi kecuali suatu yang dikehendaki Allah. Tak ada kehendak Allah kecuali kebaikan. Berarti apa yang terjadi, itulah yang terbaik. Sementara manusia hanyalah peraga untuk mewujudkan kehendak Allah yang sarat kebaikan itu. Bisa jadi buruk dalam sudut pandang manusia saat ini, namun Allah Maha Mengetahui rahasia diturunkannya setiap musibah. 

Mendengar Jagir, sebagian pikiran kita tertuju pada suatu yang meruntuhkan sisi moral. Diharapkan lewat musibah itu, kita akan mendapati warga makin relegius dan makin merasa butuh pada Allah, dan perlahan-lahan citra kemaksiatan yang lekat di Jagir tergusur. Itu hanyalah cara Allah untuk membuat kita semua semakin baik. 

Karena itu, alangkah indahnya bila setiap inci kehidupan kita melulu diliputi ingat pada Allah. Kejadian per kejadian menggerakkan diri berzikir pada Allah sebagai refleksi syukur yang tak pernah jeda, dan kita bisa menuai hikmah dibalik kejadian tersebut. Zikir terus menghiasi dan terbawa dalam hidup kita, bila kita punya pemahaman yang benar dan menyeluruh tentang setiap kejadian yang dibungkus sifat baik Allah SWT. Zikir mengundang kenikmatan di hati, ketika disertai pengenalan pada sifat-sifat Allah yang tak pernah mengecewakan, malahan selalu menurunkan kepuasan batin bagi setiap yang memahami sifatNya secara utuh. 

Mari kita menggali hikmah yang tersembunyi dibalik penggusuran tempat tinggal warga Jagir Wonokromo, tanpa disertai rasa prasangka buruk, baik pada Allah, pada warga Jagir, juga pada Pemkot Surabaya. Semoga Allah mewariskan hikmah di hati kita. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar