Jumat, 22 Mei 2009

SAATNYA NU INTROSPEKSI


 

Kekalahan partai berbasiskan NU mengilhami para ulama 
mengintrospeksi diri secara kolosal. Introspeksi kolosal ini, selain 
diserukan pada kalangan ulama, juga seluruh warga NU. Pertemuan 
Langitan, Tuban, yang dihadiri 500 ulama se-Jawa Timur yang terdiri 
dari PBNU, pimpinan pondok pesantren, dan PWNU beberapa pekan yang 
lalu menghasilkan kesimpulan yang intinya menyerukan agar seluruh 
warga NU menyelamatkan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu 
dari paham ekstrem kanan atau kiri. 

Sebagai pilar besar kekuatan Islam di Indonesia, NU tengah 
menelan kenyataan pahit dengan semakin cairnya suara NU. Di berbagai 
daerah banyak pentolan NU yang memasuki gelanggang politik praktis, 
tetapi tidak memberikan hasil yang mengembirakan NU. Kita bisa 
merunut sejarah, Pilpres 2004 Kiai Hasyim Muzadi digandeng Megawati 
Soekarnoputri. Secara rasionalitas politik kombinasi antara 
nasionalis dan religius ampuh untuk menyedot massa pemilih, tetapi 
realitas politik lebih berpihak pada Yudhoyono-Kalla yang berangkat 
dari kalangan nasionalis bahkan ada yang menyebutnya neo-liberalis. 

Sekali lagi debut pemilihan cagub-cawagub di Jawa Timur tahun 
2008, ketua PWNU saat itu, Ali Machsan Moesa seperti gadis cantik 
yang diperebutkan beberapa cagub, akhirnya berhasil dipinang 
Soenarjo. Akan tetapi, apa boleh dikata, ternyata pamor ketua PWNU 
tak bisa mengungkit suara dari grassroot NU. Kekalahan NU makin 
sempurna ketika memasuki gelanggang Pileg 2009. Betapa banyak suara 
warga NU berimigrasi pada partai yang berbasiskan non-NU. Sungguh, 
konstelasi demokrasi yang menjadi media menjajaki kekuatan dan 
soliditas warga NU itu perlu menjadi bahan renungan bagi kalangan NU 
sendiri, terutama kiai sebagai inspirator juga penggerak warga NU. 

  Warga NU masih tetap memosisikan kiai sebagai model yang patron. 
Apa pun yang dilakukan mereka banyak terinspirasi oleh perilaku dan 
model hidup yang ditampilkan kiai. Jadi, andaikan ada perilaku 
politik yang keliru, semisal ada warga NU yang terjebak dalam politik 
uang, kiai yang harusnya mengoreksi terdahulu sebagai pemandu 
warganya. Apalagi politik uang tidak hanya menghiasi partai-partai 
berbasis nasionalis, bahkan partai berbasiskan NU juga terjebak dan 
terseret dalam kultur politik yang tak beradab itu.

Kaum elite NU juga perlu menyadari bahwa apa pun yang dilakukan 
warga NU sebagai cermin dari elite NU yang kurang memerhatikan 
penguatan ruh Islami dalam berbagai ragam kehidupan, tak terkecuali 
berkaitan dengan politik praktis. Kita tidak menemukan brand yang 
membedakan gaya politik NU dan politik partai yang berbasiskan 
nasionalis. 

Ketika NU terjebak dalam jerat kekuasaan dan meninggalkan warisan 
visi besar dari para pendirinya, suatu saat NU hanya menjadi karangka 
tanpa ruh. Besar, namun tidak memiliki karisma dan magnet yang kuat 
dalam menggalang perubahan bagi bangsa ini. Faktanya, karena NU tidak 
bisa menunjukkan hujah yang kuat dan model yang sempurna di mata kaum 
muda NU, banyak kalangan muda yang jenuh ritual dan seremonial yang 
digalakkan NU. Sebagai pelampiasan dari kejenuhan itu, anak muda 
berijtihad untuk mencetuskan reformasi pemikiran di kalangan NU, 
dalam bentuk Islam liberal. 

  Kita tidak boleh menyalahkan anak muda yang haus ilmu dan melulu 
berhasrat menemukan gagasan keagamaan yang menarik, kendati ujungnya 
persinggungan dengan semangat dan ideologi yang mendasari NU. 
Merebaknya kelompok kiri Islam atau Islam liberal yang dibidani anak 
muda NU perlu menjadi bahan koreksi bagi tokoh NU sendiri agar fokus 
membumikan kembali ideologi dan pemahaman NU secara komprehensif 
sembari diperkuat dengan model yang elegan. Kita tidak membutuhkan 
kata-kata untuk menarik gerbong perubahan NU menuju yang sejati, 
tetapi mengharapkan model sejati yang bisa menginspirasi warga NU 
agar bisa bertindak ikhlas. 

Komplikasi yang membelit NU bisa diurai lewat kesadaran kiai NU 
soal perannya yang membutuhkan kerja keras untuk terus mengusung visi 
dan nilai NU secara istiqamah. Tanpa kerja keras dari kiai NU, 
kebesaran NU kelak hanya menjadi onggokan sejarah. 

Kompas, Jumat 15 Mei 2009
Khalili Anwar
Penulis Muda, Tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar