Senin, 09 Februari 2009

BERKUASA MAKIN TIDAK AMAN

Saya teringat dengan kesederhanaan dibalik keagungan khalifah Umar Ibn Khattab. Saat beliau memangku jabatan sebagai khalifah, dia hidup untuk melayani umat sepenuhnya. Hampir tak ada waktu untuk beristirahat. Kata beliau, bagaimana saya bisa istirahat, di siang hari saya harus memenuhi hak-hak rakyat, di malam hari saya harus memenuhi hak-hak Allah SWT. Kekuasaan yang diperoleh tidak membuat beliau hidup dalam suasana santai, tetapi merasa memangku beban dan tanggung jawab yang amat berat. Beliau telah melepaskan seluruh kepentingan dirinya, dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Karena kekuasaan tidak untuk memenuhi kepentingan diri, maka beliau selalu merasa aman berada di mana saja. Bahkan dia kadang beristirahat dengan cara berteduh di bawah pohon. Bagaimana mungkin seorang khalifah yang notabena pemimpin seluruh umat Islam berteduh di bawah pohon untuk sekadar istirahat tanpa pengamanan seorang pun. Apakah tidak takut ditikam atau tertusuk tombak atau panah? Beliau tidak hanya menjadi penguasa bagi rakyat, tetapi beliau juga telah menguasai dirinya sendiri. Beliau telah menyerahkan seluruh kehidupan ini pada Allah. Dalam hatinya hanya ada rasa takut pada Allah, tidak pernah terbersit sedikit pun takut pada makhluk. Suasana hati itulah yang membuat beliau tidak pernah meminta pengamanan.
Bayangkan dengan penguasa zaman ini. Sungguh kita akan menemukan realitas yang kontras, betapa makin tinggi sebuah kekuasaan, niscaya makin terdera rasa takut. Mengapa dia begitu takut? Ya karena dia tidak bergantung pada Allah, tetapi bergantung pada kedudukan. Saat insan bergantung pada selain Allah, niscaya dia mulai menemukan kerapuhan dalam dirinya. Dia takut kedudukan lenyap dari dirinya, walau sesungguhnya kedudukan pada saatnya akan lenyap. Apakah dirinya terlebih dahulu yang meninggalkan kedudukan dengan datangnya kematian, atau kedudukan itu sendiri yang bakal menghilang dengan adanya pergantian kekuasaan, atau demo rakyat yang memicu meruyaknya kudeta atas kekuasaannya. Sungguh aneh, orang makin berkuasa, makin merasakan tidak aman. Lebih aneh lagi, mengapa banyak orang mengejar kekuasaan yang hanya membuatnya dia makin dikuasai rasa takut. Orang yang berkuasa membutuhkan keamanan, maka dia meminta pengamanan dari pihak keamanan. Saat dia meminta keamanan, siapa yang berkuasa sebenarnya? Apakah yang menjaga keamanan atau yang dijaga keamanannya? Siapa pelayan yang sebenarnya? Apakah yang memberikan pelayanan atau yang meminta pelayanan? Di zaman akhir ini, kita menjadi rabun untuk mengertikan dengan jelas tentang siapa pelayan dan yang dilayani.
Suatu kenyataan yang menggelikan, mengapa saat orang memiliki kedudukan makin tidak bebas untuk mendapatkan kenyamanan hidup. Kemanapun pasti ada orang yang mengikutinya. Dipandu dalam kegiatan protokoler. Hal itu tidak hanya berlaku pada orang yang memiliki kekuasaan tersebut, namun juga berimbas pada keluarganya. Kalau biasanya anaknya bisa bermain bebas dengan sebayanya, sekarang terus saja disertai pengamanan. Seakan terpisah dengan ruang kebebasan. Sungguh tidak masuk akal, ketika orang diberi kekuasaan ternyata makin tidak aman dan bebas.

1 komentar:

  1. Apa kalau tidak berkuasa jadi aman?
    Apakah keamanan hanya bagi yang tidak berkuasa?
    Apakah kalau berkuasa memang seharusnya menjadi aman dan bebas?
    Apakah kekuasaan yang dimaksud mengandung kemampuan untuk mengendalikan?
    Memangnya kekuasaan itu bisa diingini dan dimiliki?
    Bukankah setiap yang diinginkan selain Dia akan membuatNya cemburu? Sekalipun itu keinginan untuk tidak berkuasa atau bahkan keamanan itu sendiri?
    Dan bukankah hanya Dia sang Pemilik segala sesuatu?
    Tulisan ini hipotesiskah? Atau hanya umpan saja?

    Khalifah Umar tentu saja senantiasa dalam rasa aman. Bahkan ketika ajal menjemputnya dengan tusukan pedang. Karena beliau tidak merasa memiliki. Dirinya sendiri pun bukan miliknya.
    Apalagi kekhalifahannya yang jelas-jelas tak pernah diinginkannya.

    Rasa aman hanya diberikan bagi orang-orang yang beriman. Karena Al-Mu'min Yang Maha Mengamankan telah bersama mereka.

    Mereka yang tidak beriman, menganggap dirinya adalah pusat kehidupan: "Semua yang ada adalah untukku dan milikku". Mereka akan terbentur pada kenyataan yang sebaliknya. Dan anehnya mereka tetap mengingkari kenyataan itu. Dari waktu ke waktu, segenap usaha dan kekuatan dikerahkan untuk merealisasikannya. Tapi siapa yang dihadapinya? Allah Yang Maha Perkasa. Pemilik langit, bumi dan seisinya.

    Hanya yang miliki yang dapat memberi. Dan hanya yang tidak memiliki yang menginginkan.
    Manusia bukanlah pemilik, karenanya manusia senantiasa berkeinginan. Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tempat bagi Arsy-Nya yang agung. Keinginan mereka telah lebur dalam irodah-Nya.

    Wallahu a'lam.

    BalasHapus