Selasa, 03 Februari 2009

MENGGERUTU MERAPUHKAN DIRI

Menggerutu berawal dari sikap bergantung orang pada makhluk. Misalnya, suatu saat kita membuat janji dengan klien bisnis di tempat dan waktu yang sudah ditentukan. Tetapi saat waktu itu telah tiba, ternyata dia tidak menemui kita di tempat yang telah dipastikan. Atau pun, kalau datang ke tempat tersebut, ia telat beberapa menit. Alias tidak on time. Andaikan, kita bergantung padanya, justru kita akan menggerutu, jengkel, bahkan gusar. Memang begitulah, makin orang bergantung pada makhluk, justru makin mudah dikena sikap menggerutu tersebut. Karena dasar manusia yang tidak sempurna, tentu tidak bakal memberikan kepuasan. Dan kala tidak ada kepuasaan, niscaya yang timbul adalah kekecewaan. Kedua sifat ini tidak bisa bergabung dalam satu hati manusia. Ketika menyembul kepuasan, maka bakal tenggelam kecewa, dan sebaliknya ketika kecewa meruyak, maka kepuasan pun tenggelam. Menggerutu kadang menjadi ekspresi tepat dari bawahan pada atasan. Anak pada orang tua, murid pada guru, karyawan pada bosnya, dan sebagainya. Ketika atasan tidak memperlakukannya secara adil, bawahan yang tidak bisa berbuat apa-apa, memilih dengan sikap menggerutu. Makin dia menggerutu, maka makin besar sifat bergantungnya pada sang atasan. Karena itu, makin orang bergantung pada sesuatu, maka harus siap-siap mendapatkan kekecewaan dari sesuatu tersebut. Dan mengapa orang yang menggerutu menjadikan dirinya makin rapuh?
Bagaimana kita tidak disebut rapuh, kalau bergantung pada yang rapuh. Bukankah manusia amat lemah? Mengapa kita harus bergantung pada manusia. Makin aneh lagi, ada orang bergantung pada mesin, padahal mesin memiliki kekurangan. Karena setiap tempat bergantung akan menjadi tuhan kecil, dan itu tidak bakal memberikan solusi yang utuh bagi kehidupan kita. Pasti ada saja kekurangan yang bakal terlihat di mata kita. Orang yang bersandar pada selain Allah, seperti halnya dia bersandar di tempat yang rapuh, lebih rapuh ketimbang jaring laba-laba. Dan tahukah Anda jaring laba-laba paling rapuhnya tempat. Saya yakin orang yang bergantung pada selain Allah, tidak bakal merasakan kebahagiaan hidup yang sempurna. Dan sesungguhnya tanpa kita sadari Allah telah memberikan pelajaran pada kita dengan kekecewaan-kekecewaan yang kita rasakan tentang perlakuan orang, agar kita tidak lagi bergantung pada manusia. Tetapi mengapa kebergantungan kita pada makhluk makin hari bertambah besar? Manusia tidak bakal mendapatkan kebahagiaan hakiki, jika dalam hatinya masih ada lukisan makhluk. Sesempurna apapun kita melihat manusia, pasti nantinya kita akan melihat sisi lemah yang membuat kita harus memendam rasa kecewa, sehingga dari hati terus bergema suara-suara menggerutu. Betapa sakitnya hati ini ketika suara-suara buruk itu terus-menerus digemakan dan diprogramkan ke dalam hati kita. Sikap menggerutu bakal membuat keburukan orang tersebut makin besar di mata kita, dan teruslah setan bakal menunjukkan sisi keburukan orang yang digerutui tersebut.
Ketika kita kecewa tidak sebatas bersikap menggerutu, yang telah cukup membuat hati sumpek, tetapi semakin bertambah menderita ketika kita mengungkapkan kekecewaan kita pada orang lain. Bukankah itu, malah bakal menimbulkan dosa baru berupa ghibah. Ghibah tidak pernah merugikan orang yang dibicarakan, hanya merugikan orang yang yang menggunjing itu sendiri. Selain itu, Anda terus merasakan odsa ghibah itu lagi berupa derita. Ingatkah Anda dengan sabda Rasulullah Saw. “Berhati-hatilah dengan ghibah, karena ghibah lebih ganas daripada zina, kalau ada seorang laki-laki melakukan zina, dan dia bertaubat niscaya Allah akan menerima taubatnya, dan sesungguhnya orang yang bertaubat tidak akan diampuninya sehingga dia meminta ampun karenanya pada teman yang digunjing itu.” Pernahkah Anda mendapatkan kepuasaan saat menelanjangi keburukan seseorang di hadapan orang lain? Tentu saja, tidak mendapatkan kepuasan. Bahkan bersamaan dengan menggerutu dalam bentuk mengguncing tersebut, justru kita akan didera rasa takut, bagaimana andaikan apa yang dikatakan diketahui oleh orang yang digunjing tersebut. Teruslah perasaan takut itu menggedor hati kita. Ketika rasa takut itu membayangi diri kita setiap saat, maka sinar wajah kita menjadi terhapus. Dan walau pun tersenyum, senyumnya tidak menularkan energi sedikit pun. Memang menggerutu yang berawal dari sikap bergantung pada makhluk bakal membuat kita makin tidak berdaya. Dan makin lemah di hadapan makhluk, dan anehnya saat itu tidak mengalir perasaan sedikit pun untuk menggantungkan hidup pada Allah SWT semata. Makin sering Anda menggerutu, tentu makin gelap hati Anda, dan Anda pun tidak pernah bisa menjaring kebahagiaan yang hakiki dalam hidup Anda. Mengapa? Karena menggerutu hanya bisa mengirimkan energi negatif ke dalam kesadaran kita. Sehingga energi positif pun tertutupi oleh energi negatif tersebut. Bagaimana mengurangi atau memupus sikap menggerutu itu?
Pertama, menjadikan Allah tempat bergantung satu-satunya. Ketika orang telah bersandarkan sepenuhnya pada Allah, maka Allah memang tempat bersandar yang amat handal. Tetapi ketika kita bergantung pada selain Allah, maka Allah akan menyerahkan urusannya, dan tentu dia akhirnya akan merasakan kekecewaan demi kekecewaan. Bagi orang yang bergantung pada Allah sepenuhnya, maka dia akan terus merasakan kekokohan batin terus-menerus. Andaikan dia mencita-citakan sesuatu, tetapi belum juga bisa mewujud, justru dia tidak serta-merta kecewa, karena Allah telah memberikan pengetahuan dari penahanan atas permintaan tersebut, hingga makin hari imannya bertambah kuat dan kokoh saja. Bahkan, kala musibah menimpanya tidak membuat semangatnya meredup untuk bergantung pada Allah, bahkan itu sebagai cara dari Allah untuk menguatkan daya batinnya. Dan saat batinnya telah menjadi kokoh, justru karunia lahiriah yang diminta tidak bakal menyesatkan, bahkan membuatnya menjadi lebih berwibawa dan mulia di hadapan Allah. Mengapa Allah harus dijadikan tempat bergantung satu-satunya? Karena Dia-lah yang mengurus semua urusan. Dan seluruh urusan akan kembali pada-Nya.”Katakanlah ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah’” (QS. Ali Imran [3]:154. Bagaimana mungkin kita bergantung pada yang bergantung? Bersandar pada yang bersandar? Rasa-rasanya kita akan mengalami kejatuhan ketika kita bersandar pada yang rapuh. Saat orang yang dijadikan tempat bersandar telah mengalami kegagalan, justru kita pun bakal terimbas kegagalan. Tetapi siapa yang bergantung pada Allah, justru dia makin kukuh.
Kedua, yakinilah manusia hanya jadi ladang beramal bukan tempat bergantung. Artinya, kita tidak bakal kecewa ketika kita menganggap makhluk hanya ladang beramal. Hanya karena adanya makhluk kita bisa berbuat dan menjalankan amanah-amanah suci dari Allah SWT. Misalnya, Anda membangun kerjasama dengan seorang kolega bisnis. Melihat performanya yang begitu meyakinkan, Anda percaya atas kompetensi dan integritas yang melekat pada si kolega. Hanya saja suatu saat dia menipu Anda, dengan cara yang amat cerdik. Mungkin Anda mengalami kerugian besar dalam kerjasama bisnis tersebut. Bolehkah Anda bersikap perkasa dengan mengembalikan urusan pada Allah? Ya, saat Anda sabar sembari melakukan evaluasi dibalik kerjasama dan niatan Anda, insya Allah Anda bakal mendapatkan keterangan agung dari Allah SWT. Bahkan pelajaran ditipu itu lebih mahal harganya ketimbang uang yang telah ditilap tersebut. Dan kalau Anda menyandarkan pada Allah sepenuhnya, pasti setiap perlakuan makhluk pada Anda akan menjadi amal kebaikan. Ya kebaikan. Yakinilah, orang yang bersandar pada yang hak, maka niscaya setiap saat hanya bisa melakukan amal kebaikan.
Bolehlah secara fisik kita bergaul dengan manusia, tetapi hati kita hanya dipenuhi dengan kesadaran bergantung pada sepenuhnya pada Allah SWT semata. Sehingga setiap niat, gerak, sikap, dan perbuatan kita hanya tertuju pada Allah SWT. Wallahu ‘alam bis showab.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Hati

1 komentar:

  1. Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka bisa tak melihat kebaikan.
    Manusia sangat memandang baik apa yang menjadi pikiran dan harapannya. Tetapi jarang bisa memandang kebaikan dalam kenyataan yang ada.
    Mengerutu itu karena kecewa terhadap kenyataan yang tidak sesuai harapannya, tapi kan tidak berdaya. Lalu ingin melepaskan diri dari ketidak-berdayaan. Apa lalu berubah jadi berdaya?

    Seandainya dapat dilihat kebaikan kenyataan yang ada, dia akan puas dan bergembira. Karena dirinya tidaklah semu seperti yang dipikirkannya.

    Wallahu a'lam.

    BalasHapus