Senin, 23 Februari 2009

MASJID DAN HATI



Masjid tempat bersujud. Hati pun tempat bersujud. Sungguh amat merugi orang memasuki masjid, tetapi kesadarannya tidak sujud pada Allah SWT. Pun sangat rugi orang yang menegakkan shalat yang menyertakan sujud, tetapi tidak bisa mensujudkan jiwa dalam hati. Ketika kita berhasil mensujudkan jiwa dalam hati dengan perasaan menghadap dan bertatap muka dengan Allah, maka saat itu kita berada dalam penyerahan diri yang holistik pada Allah SWT. Dan bukankah penyerahan diri itulah yang bakal melahirkan kebahagiaan bagi jiwa kita?

Tanpa penyerahan diri, manusia bakal selalu berada dalam putaran dualitas yang tidak pernah menebarkan kebahagiaan yang indah dalam hati. Ketika Anda mau memasuki masjid, maka berusahalah untuk menyerahkan diri pada Allah, menghadapkan diri kita hanya pada Allah, sembari merasakan keagungan Allah yang terejawantah melalui ciptaanNya yang Luar Biasa. Pun saat kita hendak memasuki hati, maka hilangkan seluruh tarikan indrawi, pikiran, dan emosi luaran menuju kesadaran bersama Allah setiap saat. Ketika gerakan pikiran bisa dihentikan, insya Allah penyerahan diri bakal mengkristal dalam diri kita. Sujud itu sebagai cermin rasa tadharru’ dan tawadhu. Saat bersujud kita merasa tidak memiliki apa-apa, saat itu pula cerabutlah akar keakuan yang menjadi inspirator dari seluruh kemaksiatan dan keangkaramurkaan.


Saking pentingnya sujud, Rasulullah pun sering melaksanakan sujud lebih lama dalam shalat, menurut riwayat Bukhari, “para sahabat bertanya pada Sayyidah Aisyah r.a. ,”Bagaimana sujudnya Rasul?”. Beliau menjawab, “Rasulullah Saw ketika bersujudnya, lamanya 50 ayat. “ 50 ayat di atas setara dengan 15 menit, demikian berkata sebagian penulis.


Lewat sujud orang mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Rasulullah bersabda, “Paling dekatnya seorang hamba pada Tuhannya Azza Wajalla adalah orang yang bersujud, maka perbanyaklah doa saat sujud.” (HR. Thabrani). Pernyataan ini setala dengan firman Allah dalam QS. Al-alaq [96]:19 “Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkan dirimu kepada Tuhan.” Itu berarti sujud sebuah media dimana seorang hamba bisa menjalin kedekatan dan keakraban dengan Allah SWT. Sujud sebagai media untuk mendekatkan diri pada Allah, saat sujud seluruh harapan telah pupus kecuali harapan pada Allah itu sendiri. Ketika sujud kedirian kita yang palsu menjadi hancur lebur dalam keagungan Allah yang kekal.


Bagaimana agar kita bisa berserah diri dalam sujud? Pertanyaan yang perlu diajukan, mengapa kita tidak berserah diri? Kita tidak bisa berserah diri pada Allah karena kita selalu menggunakan parameter pikiran kita yang terbatas. Ketika kita masih bergantung dan melekat pada kekuatan pikiran, terasa sulit untuk menghadirkan penyerahan diri dalam hidup kita.


Itulah rahasia yang bisa kita petik dari kisah Nabi Musa AS yang hendak mermuwajahah dengan Allah di gunung Tursina. Saat hendak memasuki gunung Tursina itulah, Nabi Musa AS diperintahkan oleh Allah untuk melepaskan kedua terompahnya. Kedua terompah, oleh sebagian ahli hakikat dinterpretasikan dua belah pikiran, yakni pikiran intlektual dan pikiran emosional. Atau lebih jelasnya kedua otak manusia harus dilepaskan, yakni otak kiri dan otak kanan. Manakala manusia masih dikuasai oleh otak kiri dan otak kanan, niscaya ia tidak bakal mencapai maqam atau kesadaran penyerahan diri. Mengapa? Karena sebagaimana diketahui, otak atau pikiran hanya menjadi bagian dari pusat kesadaran jasmani. Manakala manusia hanya bisa memaksimalkan pikiran itu tanpa disertai cahaya ruhani yang efektif, maka sulit untuk bisa menggapai hakikat penyerahan diri yang sejati.


Pasangan pikiran adalah sisi duniawi, sementara pasangan jiwa adalah Allah SWT. Andaikan manusia sekadar memfokuskan pada sisi duniawi, maka ia sebatas mencerap sisi duniawi dengan segala kenikmatannya. Dan bila manusia memfokuskan pada sisi ruhani, maka ia bakal mendapatkan kenikmatan spiritual yang tak terbatas dalam bentuk penyerahan diri yang luar biasa. Saat penyerahan diri telah mewujud dalam hidup kita, maka makrifat bakal terasa dalam hidup ini. Intinya, agar kita bisa berserah diri pada Allah, maka berusahalah untuk menghentikan pergerakan pikiran yang hanya mengacu pada sisi indrawi dan duniawi dan menyelam menuju samudera ruhani yang luar biasa. Dan saat itulah jiwa kita bakal bisa mengepak dalam angkasa cinta pada Allah SWT. Wallahu a’lam Bish Showaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar