Rabu, 18 Februari 2009

SUJUD DALAM HATI

Sujud sebuah aktivitas yang biasa dilakukan saat shalat. Sujud diletakkan sebagai rukun shalat, tanpa sujud shalat tidak ada artinya. Dan bagaimana dengan orang yang tidak bisa bersujud, karena dikena penyakit yang membuatnya sulit bahkan tidak bisa bersujud? Andaikan kita dikena penyakit, hingga membuat kita tidak bisa sujud, maka cukuplah sujud dalam hati. Esensi dari sujud adalah berserah diri, tanpa penyerahan diri yang bulat pada Allah, berarti esensi atau bekas sujud tidak menghujam dalam hati kita. Saat kita menegakkan shalat, kita meletakkan kening kita di atas tanah, dan batin kita bersujud dalam hati. Keduanya bertujuan sama, yakni melahirkan penyerahan diri di hadapan Allah. Begitu pula ketika kita hendak memasuki masjid, yang notabena tempat sujud, dhahir kita masuk ke dalam rumah Allah bernama masjid, tetapi batin kita menyelam ke dalam hati sebagai rumah Allah yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Hati orang beriman adalah singgasana Yang Maha Pengasih,” dan di kesempatan yang lain beliau bersabda, “Hati orang beriman adalah rumah Allah,”

Tahukah Anda mengapa saat berada di masjid tidak diperbolehkan berbincang perihal duniawi? Ya, karena masjid memang hanya dijadikan tempat untuk mengasah dan memberdayakan ruhani, dan tempat memuja Tuhan sepenuhnya, terlepas dari persoalan duniawi. Saya pernah hadis, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berbincang dengan perbincangan yang berbau duniawi, niscaya Allah membatalkan amalnya selama 40 tahun.”. Mungkin sebagian dari kita masih bisa menahan diri agar tidak membawa persoalan duniawi dalam masjid, tetapi kuatkah hati kita untuk menyingkirkan bau duniawi dari orbit kesadaran ruhani? Atau bisa jadi di masjid kita tidak berbincang soal duniawi, tetapi hati kita masih terus bergumam tentang persoalan duniawi. Saat shalat, mungkin masih ada yang mengingat soal kontrak yang bakal ditandatangi, janji dengan klien, hutang yang belum terbayar, atau ada yang mengingat orang yang telah berhasil memanah hati kita dengan virus merah jambu. Bahkan ketika virus merah jambu telah menancap di relung hati, seakan menutupi seluruh kesadaran kecuali padanya (tuh yang telah menancapkan panah virus merah jambu).


Bagi saya, hati masih menjadi rumah serba ada, kadang mengingat Allah di dalamnya, tapi kadang terbersit soal bisnis, terbersit soal takut mendapatkan rezeki, terbersit keinginan untuk mendapatkan kekayaan, terbersit ingin mendapatkan benda-benda, terbersit keinginan mendapatkan pujian dan popularitas. Memang hati ini belum murni sebagai rumah suci bagi Allah, tetapi sering juga menjadi rumah bermukimnya hasrat-hasrat duniawi yang tidak kekal. Karena hati tidak dijadikan sebagai singgasana Allah, akhirnya perasaan gelisah dan susah terus melanda hati ini. Memang begitulah, kalau suatu tempat tidak dihuni oleh penghuni sejati, justru tidak akan merasakan nyaman. Jangan izinkan sedikit pun virus duniawi merasuk ke dalam hati kita.

3 komentar:

  1. Dunia dan akhirat apa hakikatnya?
    Bukankah dunia itu ladang bagi akhirat?
    Bukankan akhirat itu tak akan ada tanpa dunia?
    Apakah Dia hanya ada di akhirat?

    Sujud hamba di rumahNya, hanya untuk menghadapNya.
    MengagungkanNya dengan merendahkan diri.
    Memuja dan memujiNya, atas segala nikmat anugrahNya.
    Seraya memohon belas kasihNya dan ampunanNya, atas segala batas yang telah dilanggar.
    Agar Dia berkenan tunjukkan benar dan salah.
    Menolong hambaNya yang lemah dan bodoh untuk berbuat baik dan menghindari kerusakan.

    Wallahu a'lam.

    BalasHapus
  2. Bismillah,
    Dunia dan Akhirat adalah bentuk bentuk kesadaran. Sama seperti halnya rasa hari ini di Dunia ( ehm apa ya rasanya hari ini? Asin ya?...), maka serupa seperti itu pula rasa hari itu di Akherat. Dibanding dengan Dunia, maka Akherat lebih kekal, lebih berasa (dan berasa lebih). Anggaplah HAri ini adalah akherat bagi hari kemarin. Juga besok adalah Akherat dari hari ini. Kemarin kita menanam, sekarang ini kita memanen. Sekarang ini menanam, besok kita panen. KAlau kemarin kita tidak siap siap, tentunya hari ini kita agak kedodoran, gugup, dst. Tentang adanya Akherat itu harus bersyarat adanya Dunia duluan, bisa dijawab dengan perumpamaan diatas.
    Bagi Allah, tidak ada syarat apapun tentang apapun, termasuk penciptaan. Jika Dia menghendaki Sesuatu itu ada, cukuplah Dia berkata Jadilah, maka itu pun Jadi.
    Kalau kesadaran kita akan keberadaan Allah ,kedudukan Allah , kehendak Allah, ini tidak tumbuh di dunia, maka akan sulit pula hal itu akan tumbuh di akherat. Karena biji kesadaran tidak kita tanam disini (di dunia), maka tentu pohon kesadaran itu tidak ada di Akherat. Mudahnya Seperti itu.
    Ada orang yang menanam biji dan tumbulah biji itu di dunia dan sempat berbuah kebaikan di dunia, saat meninggal dia memanen tanamannya. Sementara bekas tanamannya ada pula yang berakar tinggal, atau ada biji yang tertinggal, yang akan jadi tanaman pula dan bisa di budidayakan pula. Itu namanya Amal jariyah. dan seterusnya.
    Sebagian orang, untuk "berjumpa" dengan Allah dia harus melalui berbagai macam bentuk kesadaran, melewati beberapa alam, mati dulu, menunggu di alam kubur, menanti akherat, ditimbang amalannya, melewati shirat, mengalami siksa neraka, hingga selamat ke surga, sampai suatu saat akan berjumpa dengan Allah. Ini orang yang beruntung.
    Sebagian orang yang lain untuk berjumpa Allah harus mati dulu, lalu menunggu Akherat, ditimbang dan masuk syurga tanpa Hisab. Ini lah yang dijanjikan Allah.
    Sebagian lainnya menempuh jalan mati dulu, tanpa menunggu Akherat langsung di syurga. Ini adalah para Syuhada.
    Sebagian orang yang lain, untuk "bertemu" Allah mereka tidak perlu mati dulu. di Dunia ini pun "mereka telah bertemu Allah dan Ridho Akan Dia Sebagai RabbNya dan Rasululllah adalah Utusannya, dengan segala konsekuensinya sampai akhirnya dia wafat " - untuk bertemu lagi dengan Allah secara sempurna.
    (Allahua'lamu bisshowab, astaghfirullahal Adhim. LAhaula wa La Quwwata Illa Billah)
    ========================================
    ini adalah klasifikasi orang2 biasa dan bukan klas para nabi dan rasul, karena secara ruhani para nabi dan Rasul telah memiliki kesadaran Ilahiyyah sebelum mereka ada di Dunia.

    BalasHapus
  3. Saya kira dunia dan akhirat ya seperti ini dan itu. :?

    Wallahu a'lam

    BalasHapus