Jumat, 06 Februari 2009

PUJILAH PADA YANG MEMUJIMU

Pujian datang dari Allah. Hakikat diri kita batil, dan yang menebarkan cahaya hak pada diri kita hanyalah Allah SWT. Allah berfirman, “Katakanlah telah datang yang hak dan telah lenyap kebatilan, sesungguhnya kebatilan benar-benar lenyap.” Al-Haq hanya milik Allah, sementara seluruh makhluk masuk kategori batil. Dan andaikan ada kebaikan yang memancar pada diri kita, itu semata-mata sebatas untuk mempresentasikan kebaikan Allah lewat makhlukNya. Terkait dengan pujian orang atas perbuatan yang kita lakukan, maka kita tidak boleh menyikapi dengan perasaan bangga, apalagi melahirkan rasa sombong.
Ingatlah, ketika Anda mendapatkan pujian dari seseorang, dan lalu Anda menyikapi dengan sikap sombong serta pongah, tentu posisi Anda berubah tak lagi terpuji, bahkan hina di hadapan Allah. Yakinilah, tak ada orang sombong yang mulia, karena sombong sendiri kehinaan. Kemudian bagaimana sikap kita saat memeroleh pujian dari orang lain? Sadarilah pujian itu datang dari Allah menuju Allah, sementara kita hanya kanal sampainya pujian makhluk pada Allah.
Kalau makhluk telah memuji Anda, maka sikap Anda adalah merendahkan diri di hadapan Allah, karena makhluk telah diizinkan melihat pencaran kebaikan dari diri Anda yang datang dari Allah. Andaikan memang kebaikan itu ada pada kita, justru pujian itu sebagai doa yang bakal kian meneguhkan sisi kebaikan yang melekat pada kita. Andaikan pujian itu tidak ada pada kita, maka perlu juga dianggap sebagai doa, agar kita benar-benar merasakan kebaikan itu dalam hati kita. Saat pujian itu tidak ada pada kita, maka kita harus berusaha bagaimana bisa menjadikan diri kita seperti pujian itu, dengan terus berupa mengikis sisi yang berlawanan dengan pujian tersebut. Betapa banyak orang mengalami peningkatan kualitas diri, karena dimotivasi dan dipuji sisi kebaikan yang ada pada dirinya. Dan orang lain memuji kita, pada hakikatnya sebagai harapan mereka terhadap kita.
Kalau ada orang yang memuji kita, maka puji pula orang tersebut, karena dia telah menemukan kebaikan. Dan dia bisa menemukan sisi kebaikan yang melekat pada kita, karena pikirannya yang positif. Karena itu, mengapa kita harus memuji orang yang memuji kita. Ya, karena pikirannya yang positif. Bukankah, positif dan negatif itu ada dalam pikiran, tidak terletak pada obyek yang dipikirkan. Ketika pikiran positif, insya Allah dia bakal selalu menemukan sisi kebaikan dari setiap aktivitas yang dijalankan.
Yang mulia itu tidak terletak pada obyek yang dipikirkan, tetapi melekat pada pikiran yang melihat kemuliaan tersebut. Karena kenyataannya, banyak pula orang berpikir negatif dan mencaci orang yang berlaku baik. Andaikan mereka tidak berpikir negatif, tentu saja dia tidak bakal menemukan sisi negatif orang lain, bahkan selalu mendapatkan sisi kebaikan yang memancar dari orang lain. Ada orang yang berpikir negatif pada ulama’ yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk berdakwah, atau yang berpikir negatif pada pedagang yang jujur dan sederhana. Bahkan ada orang yang berburuk sangka pada Allah SWT, padahal Allahlah sumber dari segala kebaikan itu.
Kalau begitu, baik dan buruk bermukim dalam pikiran kita sendiri. Itulah alasannya, mengapa kita tergerak untuk memuji orang yang memuji kita? Orang memuji kita karena memang pikirannya yang terpuji, bukan diri kita. Dan andaikan pikirannya negatif, pasti dia bisa melihat sisi keburukan yang melekat pada kita. Dia melihat diri kita sesuai dengan kacamata yang dipergunakan. Lebih dari itu, saat orang memuji kita, secara spontanitas dia telah mendapatkan ketenangan hidup seketika. Bukankah orang yang telah berada dalam keadaan tenang itulah yang berhak mendapatkan maqam terpuji.
Khalili Anwar, penutur dari jalan hati

1 komentar:

  1. Sombong yang hina itu apa bukan karena kepalsuan persepsi diri?
    Pujian kepada diri hanyalah milik Allah.
    Bila makhluq-nya memuji makhluq-nya, maka itu adalah pujian-Nya kepada diri-Nya sendiri.

    Wallahu 'alam.

    BalasHapus